Dikabarkan dari antara, Poengky mengatakan sangat penting bagi Polri untuk mendengar suara masyarakat karena harus diakui sebagai aparat yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat, maka polisi harus siap melayani 24 jam.
“Pesimisme yang diusung tagar tersebut justru tidak menyelesaikan masalah. Sebaiknya masyarakat justru mendukung agar Polri dapat melaksanakan tugasnya secara profesional dan mandiri,” kata Poengky.
Menurut Poengky, Kompolnas melihat dalam lima tahun terakhir Polri sudah meningkatkan kualitas pelayanannya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi guna mempermudah masyarakat melapor.
Ia mencontohkan Polri sudah menyediakan pelaporan berbasis ‘online’ dan dapat lebih cepat memproses pengaduan.
Untuk kasus-kasus kekerasan dengan korban perempuan dan anak, lanjut Poengky, Polri sudah punya unit pelayanan perempuan dan anak (PPA).
“Nah, dalam kasus Luwu Timur tersebut, kami melihat polisi sudah cepat melayani, termasuk dengan melakukan VER, pemeriksaan psikologi dan mendengar keterangan saksi-saksi,” kata Poengky.
Namun yang menjadi komplain di sini, kata Poengky, adalah penyidik dianggap tidak profesional karena mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan. Padahal menurut pengadu, kasusnya memenuhi syarat untuk dilanjutkan.
“Oleh karena itu untuk menyelesaikan konflik ini, hukum menyediakan jalan berupa praperadilan,” ujar Poengky
Menurut Poengky, penghentian penyelidikan perkara ini oleh Polres Luwu Timur berdasarkan hasil gelar perkara yang menyatakan kurangnya bukti.
“Saran kami, agar pelapor atau kuasa hukumnya dapat mengajukan permohonan praperadilan agar hakim praperadilan dapat memutuskan sah atau tidaknya SP3 tersebut,” kata Poengky.
Poengky menambahkan praperadilan itu upaya hukum yang dapat dibuat untuk men-“challenge” polisi. Jika hakim praperadilan menyatakan SP3 sah, berarti kasus ini tidak akan dibuka kembali.
“Tetapi jika hakim praperadilan menyatakan SP3 tidak sah, maka berarti penyidik wajib membuka kembali kasus ini,” terang Poengky.