Oleh Agus Wahid
Jutaan mata dunia tersedot ke Jakarta. Itulah implikasi alamiah sejalan dengan perhelatan balap mobil Formula-E di tengah Ibukota Indonesia. Dunia pun terperangah. Sebuah sorotan masyarakat internasional yang punya banyak makna implikatif-konstruktif. Bukan sekedar decak kagum atas perhelatan balap mobil listrik itu, tapi imbas positif sosial-ekonomi yang tak terpisahkan. Inilah imbas positif yang layak kita soroti lebih jauh.
Yang pertama dan utama, realisasi perhelatan itu secara langsung atau tidak mengkonfirmasi bahwa Jakarta sejajar, minimal dapat disejajarkan kemampuannya dengan para penyelenggara terdahulu (Beijing, Mexico City, Paris, Moskow dan London). Meski dalam sektor tertentu, tapi konfirmasi itu bermakna mayakinkan masyarakat pembalap Formula-E dan organisasinya (ABB FIA Formula E World Championship) menunjukkan bahwa Jakarta atau negeri ini memang mampu menyelenggarakannya, bukan sekedar wacana atau teoritik dan sketsa di atas kertas semata.
Konfirmasi itu –sebagai hal kedua – sekaligus juga untuk menjelaskan kepada dunia, Jakarta khususnya selaku pengemban amanah perhelatan Formula-E telah berhasil melewati masa-masa sulit akibat pandemi covid-19, terkait dampak ekonomi dan sosialnya. Konfirmasi ini menjadi penting sebagai formula kebijakan turisme yang haruslah responsif dalam upaya menggali postensi wisatawan mancanegara (wisman) yang mengalami penurunan (decline) akibat pandemi covid-19. Karena itu, melalui realisasi perhelatan fantastik Formula-E itu, negeri ini leluasa untuk meyakinkan masyarakat wisman: tak perlu ragu datang ke Indonesia. Setidaknya, kerumunan massa yang demikian padat di arana sirkuit dapat dijadikan referensi tentang situasi aman dari ancaman covid-19 yang konon masih terus menghantui.
Dengan topografi kesehatan lingkungan yang relatif telah aman itu, maka hal ini bisa dijadikan pijakan kesadaran untuk tidak lagi meneruskan aksi (kebijakan) yang terus mengeksploitasi rakyat atas nama pencegahan covid-19. Rakyat yang kian minus pendatan tidak selayaknya terus diperas atas nama PCR, antigen, karantina dan lain-lain. Sudah saatnya stop total aksi eksploitatif terhadap publik di tengah Indonesia ini ataupun dunia atas nama pencegahan covid-19. Karenya, tidaklah berlebihan jika terdapat opini bahwa realisasi perhalatan Formula-E sejatinya merupakan adegan aksi “pembebasan” anti covid-19. Pertunjukan ini perlu dilihat dan disikapi secara positif-kontruktif, bukan sisi lain yang tendensius.
Sebab, pembebasan itu berkorelasi positif dan cukup atraktif terkait peluang besar kehadiran para wisman. Secara langsung, pertunjukkan pembebasan itu punya dimensi ekonomi yang sangat mendasar: menghidupkan kembali daerah-daerah wisata di berbagai sentra negeri ini yang sangat terpukul akibat covid-19. Karenanya, tidaklah berlebihan jika muncul opini publik, perhelatan Formula-E – sebagai kegiatan ataupun melalui tinjauan langsung para pembalap dan pengujung asal berbagai negara – mereka semua menjadi saksi mata sekaligus duta “klarifikator” tentang topografi kesehatan lingkungan yang aman, di samping demikian indahnya Ibukota Indonesia (Jakarta) saat ini, juga panorama menawannya daerah-daerah lainnya yang telah terkenal luas di berbagai belahan dunia.
Yang tak kalah menariknya sebagai hal ketiga – perhelatan Formula-E juga sekaligus mengkonfirmasi komitmen Pemerintahan Jakarta terhadap sikap dan kebijakan yang tegas pro lingkungan (healty climate). Misi mendasar dari Formula-E itu sendiri sudah jelas: pembudayaan mobil listrik sebagai upaya mendasar pengurangan bahan bakar fosil. Dan Jakarta, bukan hanya supported terhadap misi itu, tapi langsung mengejawantahkannya melalui kebijakan pembangunan pro lingkungan yang menampak jelas pada program naturalisasi secara meluas. Karenanya, bermunculan taman-taman baru di tengah perkotaan, di samping area-area penghijauan yang demikian meluas dan bermanfaat bagi kepentingan ekonomi masyarakat pengelola. Pemandangan lingkungan yang asri itu tentu menjadi daya tarik terendiri. Bukan semata-mata keasriannya, tapi kualitas iklim sehat karena produksi oksigen yang berjuta kubik, di samping potensi besar penyerapan debit air manakala hujan turun.
Realitas program pembangunan pro-lingkungan tersebut jeleslah menjadi catatan plus di mata para perseta Formula-E dan rombongan, serta segenap penonton mancanegara. Pemandangan yang dipancarluaskan media internasional, hal ini membuka mata dunia, sebagai pejabat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau para kepala negara dan rakyatnya tentang fantastiknya Jakarta saat ini. Sebagai aktivis pro-lingkungan, tentu pemandangan lingkungan yang sehat itu sungguh mengagumkan. Tidaklah tertutup kemungkinan, di antara mereka – sekalipun bukan komunitas pencinta Formula-E – akan menilai, “Sungguh tepat penyelenggaraan Formula-E di Jakarta. Layak diapreasisi”.
Keempat, realitas penyelenggaraan Formula-E menggiring sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa negeri ini. Rasa bangga (pride) – dalam konteks sosial – cukup penting maknanya. Yaitu, bisa menumbukan rasa percayaan diri. Bangsa ini bukanlah Inlander, karenanya tak boleh minder saat berhadapan dengan komunitas internasional manapun dan dalam sektor apapun. Modalitas sosial ini penting dan bisa disett up secara konstruktif untuk kepentingan lain, katakanlah ekonomi (bisnis).
Dan memang – sebagai hal kelima – perhelatan itu memang dirancang untuk mendorong gerakan ekonomi mikro, untuk seluruh level: tidak hanya untuk pelaku ekonomi kelas “kakap”. Para pelaku ekonomi kelas “bawah” berhak menikmati dari kue ekonomi sebagai multiplier effect. Dan data bicara, seluruh lapisan pelaku ekonom dapat kebagian kuenya sesuai forsinya, mulai dari awal pembangunan sarana dan prasarananya yang bernilai sekitar Rp 344 milyar ini melibatkan banyak korporasi, sampai pada saat-saat penyelenggaraan.