Kemelut itu kemudian membawa perubahan sikap Nahdlatul Ulama terhadap PPP. NU, salah satu unsur dari fusi partai-partai Islam di PPP, dalam Muktamar di Situbondo 1984, akhirnya memutuskan keluar dari partai ini. Padahal, nahdhiyin merupakan penopang utama perolehan suara PPP pada setiap pemilu.
Setelah NU cabut dari PPP, hasil perolehan suara partai ini pada Pemilu 1987 memang merosot seperti dugaan sebelumnya. Partai tersebut hanya mendulang sekitar 13,7 juta suara atau anjlok 34,4 persen dibanding Pemilu 1982 yang menangguk 20,87 juta suara.
Konflik berlanjut setelah Indonesia memasuki zaman Reformasi. Ketua Umum Suryadharma Ali yang pada 2014 tersangkut perkara korupsi, kemudian menimbulkan kekosongan pemimpin. Kondisi ini lalu memunculkan dua kubu untuk menggantikannya, yang sama-sama menggunakan jalur muktamar.
Muktamar di Surabaya pada Oktober 2014 menetapkan M. Romahurmuziy (Romy) sebagai Ketua Umum PPP, sebulan kemudian Djan Faridz, melalui muktamar di Jakarta, ditunjuk sebagai ketua umum. Ketika Romy tersandung kasus korupsi, muktamar di Makassar pada 2020 memilih Suharso Monoarfa sebagai ketua umum.
Namun, konflik internal belum berakhir di sini. Kepemimpinan Suharso yang dianggap kurang progresif untuk meningkatkan perolehan suara PPP pada Pemilu 2024, menjadi salah satu alasan untuk menurunkannya.
Momentum itu akhirnya tiba ketika Suharso melakukan blunder dalam kasus ucapan “amplop kiai” yang dianggap meresahkan kalangan kiai dan nahdhiyin, yang merupakan penyokong penting perolehan suara PPP pada setiap pemilu.
Meski Suharso sudah meminta maaf, dorongan untuk mengganti dia sudah mencapai puncaknya. Melalui mukernas di Serang pada 4 September 2022, Suharso digusur, digantikan oleh Muhamad Mardiono, sesepuh partai yang ditunjuk sebagai Pelaksana Ketua Umum PPP.
Suharso memang melakukan perlawanan, namun 5 hari setelah mukernas, Kementerian Hukum dan HAM pada 9 September 2022 menerbitkan surat keputusan pengesahan Mardiono sebagai Pelaksana Ketum PPP. Mardiono sebelumnya merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Mardiono memikul amanah besar untuk menyelamatkan PPP agar perolehan suara partai ini mampu melampaui ambang batas parlemen. Ini tugas dan tanggung jawab yang menantang bagi Mardiono di tengah keterbatasan waktu untuk berlaga pada Pemilu 2024.
Basis suara
Jawa sejauh ini memang masih menjadi andalan PPP untuk mendulang suara, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun belum pernah menjadi pemenang pemilu, pada zaman Orba, PPP pernah menjadi kompetitor Golkar, partai penguasa (the ruling party) kala itu.
Pada Pemilu 1997, yang dinilai sejumlah kalangan tidak berlangsung demokratis, PPP berhasil menjadi pemenang di Provinsi Aceh dan DKI Jakarta. Pencapaian tersebut rasanya sulit terulang seiring dengan mengecambahnya partai-partai baru pasca-Reformasi. Partai-partai baru tersebut memiliki basis suara tradisional yang beririsan dengan PPP, seperti PKB, PAN, dan PBB.
Bahkan partai-partai berbasis massa Islam belum pernah masuk dua besar sejak Pemilu 1999. Perolehan suara mereka, berdasarkan basis dukungan tradisional, tersebar di partai-partai menengah kecil. Mereka saling berebut pemilih di basis yang sama, sementara itu sejumlah partai nasionalis kian agresif menggalang dukungan dari kantong-kantong suara mereka.