SUMBAWA, Harnasnews – Constatering terhadap obyek tanah di Kelurahan Pekat Kecamatan Sumbawa, tepat di samping eks Kantor Pengadilan Negeri Sumbawa, Rabu (15/2/2023), batal dilaksanakan oleh Panitera PN Sumbawa.
Batalnya upaya pencocokan objek eksekusi untuk memastikan batas–batas dan luas tanah dan atau bangunan yang hendak dieksekusi ini, setelah terjadi perdebatan antara pihak tergugat dan Tim PN Sumbawa. Melihat situasi yang berpotensi terjadinya keributan, Kapolsek Kota Sumbawa, IPDA Eko Riyono SH meminta agar constatering dibatalkan sekaligus menghimbau agar massa tetap menjaga kondusifitas.
“Daripada mendatangkan mudharat dan berpotensi terhadap kerawanan keamanan, baiknya constatering ini dibatalkan,” pinta Kapolsek Eko, seraya meminta masyarakat juga ikut menjaga kondusifitas.
Sementara Panitera Pengadilan Negeri Sumbawa, Lukas Genakama SH mengatakan kehadiran pihaknya untuk melaksanakan constatering ini atas perintah dari Ketua Pengadilan untuk melakukan pencocokan di lokasi objek sengketa. Namun setelah sampai di lokasi, pihaknya tidak diizinkan oleh para termohon (tergugat) dengan menyampaikan argumentasi dan alasan. Ia mengaku belum bisa mengambil keputusan pasca batalnya constatering.
“Kami laporkan dulu ke Ketua Pengadilan terkait kondisi yang telah terjadi. Bagaimana tindakan selanjutnya, tergantung dari perintah Ketua Pengadilan,” kata Lukas.
Lukas membantah bahwa pihaknya datang tanpa membawa data maupun tanpa mengetahui batas.
Menurutnya batas-batas yang akan dicocokkan ini sudah jelas. Meski dalam amar putusan MA tidak menyebutkan secara detail luas dan batas-batas obyek, namun pihaknya mengacu pada Putusan perkara perdata nomor 15 SPDTG/1996/PN Sumbawa Besar.
“Kalau batas-batasnya sudah jelas, karena berawal dari perkara awal (Putusan perkara perdata nomor 15 SPDTG/1996/PN Sumbawa Besar). Ada jelas batas-batasnya di situ.
Mereka tidak memahaminya secara utuh, harus meminta kepada pengadilan dalam amar Putusan Kasasi disebut batas timur-barat, utara-selatan. Padahal kalau mau melihat putusan Kasasi itu mengabulkan maka kembali kepada perkara awal (Putusan perkara perdata nomor 15 SPDTG/1996/PN Sumbawa Besar),” tandasnya.
Menanggapi hal itu, Tergugat yang diwakili Drs. Dahlan HM didampingi Rasyid Arsalan SH dan Lukman Hakim SP., M.Si menyatakan bahwa batalnya constatering bukan karena dihalangi pihaknya, melainkan kami telah memegang putusan hukum yang sudah ickraht dan final Lembaga Peradilan. Selain itu penggugat dan tim PN Sumbawa tidak dapat menunjukkan batas-batas yang jelas terhadap objek gugatan. Secara logika hukum, ungkap Dahlan, ketika hendak melakukan pencocokan luas dan batas-batas obyek, harusnya berdasarkan amar putusan Mahkamah Agung.
Sementara dalam amar putusan MA tersebut tidak menjelaskan berapa ukuran luas serta batas-batas tanah sengketa yang harus diserahkan kepada Penggugat (dieksekusi).
“Jika datang tanpa mengetahui batas dan luas tanah, sama dengan melakukan upaya secara buta.
Sedangkan di satu sisi kami memegang bukti putusan hukum yang bersifat inkrach dan tidak pernah dianulir oleh putusan hukum manapun. Dalam beberapa kali eksekusi yang gagal dilaksanakan, pihak pemohon eksekusi juga tidak dapat menunjukkan ukuran serta batas-batas tanah sengketa yang akan dieksekusi,” tukasnya.
Ketika Panitera mengacu pada perkara awal yakni Putusan perkara perdata nomor 15 SPDTG/1996/PN Sumbawa Besar, Dahlan menilainya sangat keliru.
Putusan ini perkara perdata nomor 15 SPDTG/1996/PN Sumbawa Besar, menolak gugatan penggugat karena alasan nebis in idem, mengingat obyek sengketa dalam gugatannya sama dengan gugatan-gugatan sebelumnya yaitu gugatan I, perkara No. 12/Pdt/1981, yang telah dieksekusi dan sama pula dengan gugatan II dan III yang telah dinyatakan ditolak.
“Sangat lucu dan aneh jika pencocokan obyek tanah baik luas maupun batas-batasnya mengacu pada putusan yang sudah ditolak,” imbuhnya.
Dalam amar putusan MA menyatakan “menurut hukum bahwa tanah sengketa milik Penggugat yang dibeli dari Lalu Hasan Mustami almarhum”, maka berarti merujuk pada luas tanah semula yang dibeli oleh Penggugat dari Lalu Hasan Mustami pada Tahun 1951 yaitu seluas 1,99 hektar. Sementara tanah dimaksud telah dijual penggugat kepada masyarakat Kelurahan Pekat, yang di dalammya juga terdapat lahan dan bangunan eks Kantor Pengadilan Negeri Sumbawa Besar (sebagaimana pertimbangan putusan perkara I tahun 1981 yang sudah dieksekusi).
“Kok yang sudah dijual mau diambil kembali, ini ngaco namanya. Padahal yang sudah dijual sudah memiliki alas hak, dan telah dieksekusi oleh pengadilan. Lalu obyek yang mana yang mau dicocokkan,” ujarnya.
Karenanya sampai kapan pun, lanjut Dahlan, upaya eksekusi yang akan dilaksanakan tetap mendapat penolakan dari masyarakat. Selain obyeknya tidak jelas, juga obyek yang ingin dieksekusi memilii dasar hukum yang jelas. (HR)