JAKARTA, Harnasnews – Mencuatnya kasus mantan pegawai pajak yang memiliki rekening gendut membuat publik bertanya-tanya terkait sumber pendapatan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut. Pasalnya jika melihat gaji yang diterimanya, sangatlah mustahil jika pejabat di level eselon III memiliki harta puluhan miliar.
“Lain soal jika pejabat tersebut sebelumnya memang latar belakangnya itu memang sudah kaya, tentu tidak ada masalah. Namun yang terjadi tidak demikian, banyak pejabat diduga menyalahgunakan kewenangannya hanya untuk memperkaya diri sendiri,” ujar analis Center for Public Policy Studies Indonesia (CPPSI) Agus Wahid kepada Mediakarya, Jumat (17/3/2023).
Agus juga mengkritisi sejumlah petinggi negara yang hanya mengimbau agar ASN tidak memamerkan gaya hidup mewah. Menurutnya gaya hidup mewah atau memiliki harta banyak sah-sah saja sepanjang itu didapat dengan cara-cara yang benar atau halal.
“Persoalannya, selama ini sudah jadi rahasia umum bahwa birokrasi kita itu mentalitasnya bobrok karena banyak diisi oleh pejabat bermental korup. Jadi seharusnya bukan menghimbau agar tidak menampakan gaya hidup mewahnya, namun yang perlu penegasan adalah bagaimana menyapu bersih pejabat yang bermental korup,” ungkap Agus.
Agus menegaskan, semestinya yang harus menjadi perhatian bukan gaya hidup mewahnya, namun bagaimana menghentikan praktik korupsi yang kian tumbuh subur dari level kelurahan hingga kementerian.
“Jika himbauannya agar tidak bergaya hidup mewah terhadap ASN, bisa saja mereka (abdi negara) atau pejabat pura-pura miskin dan hidup sederhana padahal simpanan hasil merampok uang negara ada di mana-mana. Selepas pensiun baru terlihat asetnya tak terhingga,” ucapnya.
Justru, kata Agus, yang harus ditekankan adalah bagaimana ASN atau pejabat negara harus bekerja pada lingkungan yang terbebas dari praktik korupsi.
Oleh karena itu, kata Agus, sistem pengawasan dan pencegahan korupsi harus difungsikan secara maksimal. Jangan lagi ada toleransi bagi pejabat atau ASN yang menyalahgunakan kewenangannya.
“Karena penyakit korupsi di Indonesia sudah akut, maka penanganannya harus ‘diamputasi’. Tidak ada kata lain untuk memberantas korupsi di Indonesia maka kita posisikan bahwa pelaku korupsi sama dengan pelaku terorisme. Di manapun keberadaannya harus diburu,” tegas Agus.
Bila perlu dibentuk Detasemen Khusus Anti Korupsi. Satuan ini bertugas memburu pelaku korupsi, baik itu yang ada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dari tingkat pusat hingga daerah. Dengan demikian diharapkan angka korupsi di Indonesia dapat ditekan dengan maksimal.