JAKARTA, Harnasnews – Kasus operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret 2 Hakim Mahkamah Agung (MA) harus menjadi momentum lembaga hukum tersebut melakukan pembenahan secara menyeluruh.
Pakar hukum pidana Herwanto Nurmansyah mengatakan, bahwa dugaan adanya transaksi jual beli perkara di Mahkamah Agung sudah menjadi rahasia umum. Untuk itu Ia meminta Ketua MA Prof.Dr.H. M. Syarifuddin segera mengambil tindakan tegas terhadap anggota maupun pegawainya yang “bermain mata” dengan pihak yang tengah berperkara.
Kasus yang tengah disorot publik kata Herwanto, terkait dengan pernyataan Sahrul Bosang, pemilik tanah di Desa Moyo, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa, NTB, seluas 10.490 M2, yang mengaku kasus sengketa tanahnya dikalahkan pada tingkat kasasi.
Padahal sebelumnya perkara tersebut Ia menangkan pada tingkat Pengadilan Negeri (PN) Sumbawa kemudian dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Putusan hukum itu harus memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, yang tentunya harus berdasarkan alat bukti yang kuat, baik itu yang dimiliki oleh pihak penggugat maupun tergugat. Dalam putusan itu, seharunya Hakim Agung terlebih dahulu mempertimbangkan putusan hukum sebelumnya, yakni PN dan PT,” kata Herwanto kepada wartawan di Jakarta, Senin (27/3/2023).
Herwanto mengungkapkan, berdasarkan pernyataan pernyataan Sahrul Bosang bahwa saat proses kasasi berlangsung, ada oknum pegawai MA yang diduga meminta sejumlah uang kepada dirinya. Namun lantaran perkaranya menang pada tingkat PN dan PT maka Sahrul berkeyakinan bahwa pada tingkat kasasi pun akan dimenangkan pula.
Akan tetapi, karena dirinya tidak mau mengabulkan dugaan permintaan uang dari oknum pegawai tersebut, terkait dengan penyelesaian perkara sengketa tanah di Desa Moyo, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa, NTB, maka dalam kasasi tersebut Sahrul mengaku dikalahkan.
“Jika memang ada permintaan uang dan ada bukti percakapan maupun chatting, maka kami mendorong agar Pak Sahrul untuk melaporkan kepada KPK maupun Mabes Polri terkait dengan adanya dugaan percobaan pemerasan yang dilakukan oknum pegawai MA tersebut,” tegas Herwanto.
Kendati demikian, lanjut Herwanto, meski Sahrul dikalahkan pada tingkat kasasi, namun masih ada upaya hukum lain, yakni Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut.
Menurt dia, jika tanah yang dimiliki Sahrul itu merupakan warisan dari orang tuanya bernama Haji Ahmad Bosang yang dibeli pada tahun 1969 dari saudara Sanging, kemudian pihak pemilik itu dapat menunjukkan bukti-bukti, maka tidak alasan lagi Hakim MA untuk tidak memenangkan Sahrul Bosang dalam PK yang akan diajukannya nanti.
“Ini soal pertaruhan integritas. Jangan sampai Ketua MA kalah dengan mafia tanah dan Markus yang ada di institusinya. Ini momentum bagi MA untuk melakukan bersih-bersih pasca dua hakimnya terseret dalam kasus suap,” tegasnya.
Sebelumnya, Sahrul Bosang Sahrul mengungkapkan, bahwa tanah yang dimilikinya tersebut merupakan warisan dari orang tuanya bernama Haji Ahmad Bosang yang dibeli pada tahun 1969 dari saudara Sanging.
Tanah tersebut kemudian digarap pertama kali oleh salah satu sepupu dari Bapaknya bernama Patahullah bersama orang tuanya. Saat itu keseluruhan hamparan tanah seluas 60.000 M2 itu sebagian besar masih dalam bentuk hutan.
Sedangkan bagian hamparan seluas 10.490 M2 yang sudah disertifikatkan hak milik oleh Edot di atas hamparan yang sama, sejak awal dibeli oleh orang tua Sahrul sudah dalam keadaan bersih (siap huni dan siap garap). Karena terletak tanah tersebut di pinggir jalan raya Desa Moyo – Sumbawa Besar.
Atas dasar kondisi riel dari tanah yang disertifikatkan oleh Rusmin Junaidi/Edot tersebut, maka Sahrul dengan tegas membantah bahwa jika di lembaran SHM atas nama Rusmin Junaidi/ Edot dinyatakan tanah tersebut berasal dari Tanah Negara (TN).
Sahrul juga menegaskan bahwa sebelumnya Edot tidak pernah menggarap lahan yang yang disertifikatkan itu dalam kurun waktu tahun 2007-2013. Sebab, sejak dibeli sampai dengan terbitnya SHM tanah tersebut memang tidak pernah lepas dari Bolang Pogo (Penggarap kedua) setelah Patahullah (Penggarap pertama) pindah ke Desa Langam pada tahun 1973.
Hal tesebut terbukti pada tahun 2014 ketika Bolang Pogo mengakui dan menyerahkan keseluruhan bagian tanah yang digarapnya kepada Sahrul Bosang.
Bahkan, Bolang Pogo pun tidak menyebutkan ada SHM atas nama Rusmin Junaidi/Edot di atas tanah tersebut. Namun anehnya justru kantor BPN Sumbawa menerbitkan SHM atas nama Rusmin Junaidi pada tahun 2013.
“Di situlah diduga mulai ada modus. Mungkin dengan dalih setelah lima tahun tanah dapat disertifikatkan. Ironisnya, asal usul tanah tersebut yang tertulis di sertifikat berasal dari tanah negara. Padahal tanah itu milik kami yang berasal dari dari warisan orang tua. Bahkan bukti-bukti surat waris yang asli di tangan kami,” ujar Sahrul.