Oleh Agus Wahid
Baru sekarangkah oligarki mencengkram Indonesia? No. Sekitar setengah abad lalu, beberapa individu oligarki juga sudah merapat ke kekuasaan. Tapi, mereka lebih menjadi mitra untuk urusan pembangunan ekonomi. Tidak sampai mencengkeram sektor politik dan pemerintahan, hukum dan institusi keamanan dan pertahanan, bahkan sentra-sentra pembangunan opini publik.
Kini setidaknya sejak pemerintahan Jokowi daya cengkeram oligarki hampir seluruh sektor ekonomi tetap dipertahankan, bahkan kian menggila. Jangkauannya dari hulu sampai hilir. Mata rantainya dari produksi, hingga pemasaran dan distribusi sampai ke sentra-sentra pasar di tingkat pedesaan. Karenanya, mereka pula menjadi pengendali harga. Hampir untuk semua sektor, terutama pangan. Kartelisme pasar menjadikan kepentingan rakyat harus tunduk pada kemauan para oligarki. Tak peduli konsumen tercekik dan menjerit. Negara pun tak pernah hadir untuk melindungi kepentingan rakyat (konsumen).
Bahkan sebaliknya, negara terus mengayomi gerakan “penindasan” ekonomi rakyat. Ketika dilakukan operasi penertiban pasar, justru yang ditindak para aktor Pribumi yang hanya menjalankan mekanisme pasar. Bukan dari produsen utama, yang jelas-jelas aktor utama di balik perkembangan harga yang super hiperbolik.
Sektor politik apalagi. Mereka tidak hanya berhasil menjadikan pemimpin negeri ini sebagai boneka. Maka, kita saksikan, hampir seluruh kebijakan sering paradoks dengan kepentingan rakyat. Dan siapapun dari komponen rakyat yang berbeda dan bersuara lantang, maka institusi hukum diperintahkan untuk membungkamnya. Tidak hanya dikriminalisasi dan dipersekusi, tapi dicabut paksa nyawanya. Kasus yang menimpa Habib Rizieq Shihab (HRS) dan pembantaian enam lasykar pengawalnya di Km. 50 Toll Cawang – Cikampek pada 7 Desember 2020 dinihari, pemenjaraan terhadap Jumhur Hidayat, Syahganda Naenggolan dan Anton Permana ketiganya aktivis hak-hak keadilan dan kemanusiaan adalah di antara upaya sistimatis dan terencana pembungkaman mulut rakyat karena dinilai mengganggu kepentingan oligarki.
Kini, memasuki kontestasi pilpres 2024, kaum oligarki mempersiapkan sejumlah langkah strategis. Untuk mempertahankan penguasaannya yang sudah dinikmati selama rezim ini. Seperti kita ketahui, hampir seluruh sektor strategis digadaikan ke “Naga Sembilan” dan kompradornya: Negeri Tirai Bambu, sebagai negara ataupun overseas Chinese. Penggadaian yang membuat leluasa terjadinya migrasi besar-besaran dari negeri Tirai Bambu ke sentra-sentra industri penambangan dan perkebunan di Tanah Air ini. Dengan penuh pengawalan super istimewa keamanan, perlindungan politik dan hukum. Teristimewa lagi, rezim ini pun telah memfasilitasi regulasi dwi-kewarganegaraan untuk bagi warganegara Tirai Bambu itu. Wow, it is very fantastic.
Tak cukup dengan fasilitas itu, sektor regulasi pun dirancang untuk menopangnya. Dengan keberhasilan mengkooptasi tujuh fraksi di DPR RI, lembaga ini pun berhail merancang-bangun produk legislasi yang secara faktual mengakomodasi kepentingan strategis kaum oligarki. Sebagai gambaran nyata, kita saksikan perubahan UU No 30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009 tentang Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan disahkannya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Semua itu menguntungkan kepentingan oligarki.
Tak bisa disangkal, selama rezim Jokowi, kaum oligarki benar-benar mencapai puncak pencengkeraman. Seolah tergapai “panen raya” selama tujuh tahun terkahir. Sebuah kondisi panen raya yang menggerakkan keinginan untuk menguasai Indonesia selamaya. Inilah yang mendorong mereka terus berusaha menciptakan skenario perpanjangan panen raya. Pertama, skenario untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi (tiga periode atau menambah tiga tahun pada periode kedua ini). Tapi, menabrak konstitusi dan mendapat resistensi publik dan sejumlah elit.
Kedua, mentok dengan skenario itu, kaum oligarki melalui bonekanya (istana) melakukan gerilya. Di antaranya membangun koalisi besar Indonesia raya (KBIR). Di sisi lain, membangun koalisi kebangsaan (KB). Dalam konteks demokrasi, rekadaya membangun KBIR ataupun KB sah-sah saja. Harus dihormati. Namun, jika kita telisik substansinya, manuvernya merupakan upaya sistimatis dan terencana bagaimana kedua koalisi itu mampu mematahkan kekuatan koalisi perubahan dan persatuan (KPP) yang menjagokan Anies Baswedan.
Ada bebrapa hal yang perlu kita analisis anatomi gerakan itu. Pertama, KBIR khususnya, jelas-jelas sebuah koalisi yang diendorce istana, yang di belakangnya oligarki. Dalam pemikirannya, KBIR dinilai bakal mampu mengungguli kekuatan strategis KPP. Jika impiannya terwujud, maka satu hal yang harus kita catat, bangsa dan negeri ini akan jatuh kembali pada cengkeraman oligarki. Prabowo sebagai kandidat utama dalam KBIR seperti yang kita saksikan bersama sebagai Menteri Pertahanan tidak pernah terlihat pembelaannya pada kepentingan rakyat. Nasionalisme Prabowo hilang tertelan masa dan kekuasaan yang membebek pada junjungannya. Muncul pertanyaan, potret pemimpin seperti inikah yang diharapkan akan membawa perubahan untuk Indonesia yang jauh lebih baik? Halusinasi. Sebagai gambaran faktual, komitmen Prabowo andai menang dalam pilres tetap akan menjalankan megaproyek ibukota Nusantara (IKN).
Tudak sadarkah bahwa dengan IKN, Indonesia harus mempersilakan Tiongkok yang siap membangun sarana dan prasarana staretegis di Paser Utara itu? Tak sadarkah, dengan sistem built on transfer (BoT) pada sarana-sarana perkantoran di IKN akan menjadi pusat infiltrasi Tiongkok pada sistem pemerintahan negeri ini? Semakin diperkuat, migrasi dari komponen Tirai Bambu siap mengisi formasi jabatan yang digelar di wilayah IKN. Maka, di depan mata, melanjutkan megaproyek IKN tidak hanya memperbesar volume utang luar negeri Indonesia yang sudah mencapai di atas Rp 7.000 triliun, tapi potensi besar terjadinya pendudukan dan penguasaan China di bumi Indonesia ini. Maka, sejatinya IKN akan mengantarkan diri sebagai boneka atau “negara bagian” baru Tiongkok.
Dengan perspektif seperti itu, kita harus mempertanyakan, layakkah kita mempercayakan kepada seorang Prabowo? Hanya kalangan yang a nasionalis, anti NKRI dan oportunis yang mau menyerahkan suaranya kepada mantan Danjen Kopasus itu.
Tapi, don`t worry. Koalisi boleh saja besar. Sesuai namanya. Namun, koalisi besar itu di atas kertas rapuh soliditasnya. Di level elitisnya akan terjadi cakar-cakaran. Layu sebelum berkembang. Karena memperebutkan satu kursi utama: Wakil Presiden. Airlangga dan Muhaimin Iskandar tak akan rela menyodorkan kursi “pelengkap” itu.
Sisi lain dan hal ini sungguh sangat mendasar, basis massa di bawah tidak otomatis sendiko dawuh terhadap titah ketua umum partainya. Jauh hari sebelum terbangun KBIR, basis massa PAN, PPP, bahkan Golkar dan sebagian kader Gerindera sudah menunjukkan sikap politiknya pro Anies. Berarti, akan terjadi migrasi besar-besaran dalam kelima partai KBIR itu yang memperkuat dukungan KPP.
Tampaknya, teropongan inilah yang membuat oligarki terus mencari cara bagaimana harus mengkriminalisasi Anies. Komisi Pemberantasan Kurupsi (KPK) terus diinstruksikan untuk mentersangkakan Anies atas dugaan penyalahgunaan wewenang pada pagelaran event Formula-E. KPK kini sedang menjalankan misi sebagai alat kepentingan kekuasaan. Juga, berupaya dari sisi lain: menggembosi partai pengusung, di antaranya manuver Moeldoko yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) atas struktur pengurusan DPP Partai Demokrat.
Sekali lagi, para oligarki terus berusaha mencengkeram Indonesia. Caranya di satu sisi menggolkan kandidat yang dinilai bisa mengungguli Anies. Di sisi lain, terus menjegal Gubernur DKI Jakarta periode 2017 – 2022 ini. Namun, ada satu hal yang tak dibaca oleh kaum oligarki. Yaitu, people power yang siap meledak jika KPK ataupun MA memenuhi keinginan oligarki.
Jika itu terjadi, amuk massa itu akan mengejar siapapun biang kerok kehancuran negeri ini. Maka, keluarga istana, kaum buzzerRp, para oportunis dan instalasi-instalasi ekonomi milik oligarki akan diamuk oleh “si jago merah”. Mereka pun akan tunggang langgang. Menyelamatkan diri. Sebuah gambaran yang harusnya tak boleh terjadi. Karena itu, kembalilah pada mekanisme politik demokrasi yang normal. Hadirkan pemilu nasional yang jujur-adil. Tak perlu terjadi lagi pencurangan. Karena, pencurangan ulang itu bagai siraman bensin. Mudah tersulut kobaran api. Prahara yang harus dicegah. Hanya satu cara: jujur dalam penyelenggaraan pemilu (pilpres). Untuk kedamaian negeri ini. Kebutuhan dasar kita semua.
Penulis: Analis politik dan kebijakan publik