Oleh: Sobirin Malian
Istilah letargi berasal dari kata lethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal hal yang esensial. Dalam istilah kesehatan, letargi adalah kondisi ketika tubuh terasa sangat lelah dan tetap tidak membaik setelah beristirahat. Tak hanya lelah, seseorang yang mengalami letargi akan sulit beraktivitas karena sering mengantuk, lesu, dan sulit berkonsentrasi. Kondisi ini bisa disebabkan oleh gangguan fisik maupun psikologis.
Rasa lelah yang berat atau letargi seringkali muncul sebagai salah satu tanda atau gejala penyakit tertentu. Berbeda dengan rasa lelah atau letih karena beraktivitas, letargi umumnya tidak hilang atau membaik meski penderitanya sudah tidur atau beristirahat.
Uniknya, sebagaimana diuangkap oleh Robertus Robet (2016), letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata aletheia yang dalam bahasan Yunani berarti kebenaran. Huruf a diawal kata a-letheia bermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan dengan penolakan untuk melupakan (alethe). Dengan demikian, letargi dalam konteks tulisan ini_secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa “adanya”, apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita.
Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya. Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dengan apa yang sekadar bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schall menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya, para sejawaran menyebut letargi sebagai hal yang berbahaya, karena itu sinyal gejala runtuhnya peradaban.
Cawe-Cawe dan Letargi
Akhir-akhir ini viral tentang cawe-cawe Presiden Jokowi. Intinya yang paling banyak dikritik adalah betapa tak beretikanya Presiden dalam kaitan Pilpres 2024 mendatang. Presiden telah “menanggalkan” sikap kenegawarannya demi mempertahankan “penerus” dan kebijakannya. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa Presiden cawe-cawe demikian. Yang jelas dalam konteks letargi, presiden telah meninggalkan jejak kemubaziran tindakannya. Presiden Jokowi boleh dibilang telah gagal dalam mengusung standar etis dan begitu mudah jatuh ke dalam hipokrisi. Cawe-cawe bukanlah legacy yang dapat diteladani.
Teolog Amerika, James Vincent Schall berpandangan, letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan (politik) ketimbang persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan sosiolog tingkah laku. Dalam pandangan Schall, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku.
Jadi, letargi sejatinya menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V. Schaal SJ, 2014). Secara fisik mungkin kita aktif, bergerak dinamis ke sana kemari, berkunjung ke berbagai pihak (tokoh agama, pesantren, tokoh parpol, dll) tetapi sebenarnya mental kita mentok dan kering gagasan.
Fenomena letargi membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum dan berkualitas untuk mengatasi masalah yang ada. Akibatnya, ditiap aktivitas terutama oleh elit negara__banyak waktu dihabiskan untuk menutupi keburukan-keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan kecil.
Sinyal Runtuhnya Peradaban
Disamping kualitas yang pas-pasan, umumnya kita memang payah dalam mencari solusi terbaik bagi masyarakat. Letargi telah membuat kita jatuh dan terjebak dalam kecenderungan untuk “asal-asalan”, pragmatis atau “yang penting bukan dia” (dalam konteks kelicikan menjegal musuh politik). Kita tidak berfikir bagaimana melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat, negara dan bangsa. Ketiadaan upaya mencari yang terbaik itu adalah awal dari kemerosotan peradaban. Sungguh hal ini sangat menyedihkan.
Perilaku Politik
Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita, cawe-cawe Jokowi itu contohnya. Cawe-cawe dianggap “jalan yang benar”, padahal itu menimbukan preseden buruk karena seharusnya seorang Presiden bersikap menjadi “negarawanan”, sportif dan obyektif. Cawe-cawe dalam konteks letargi kebudayaan adalah kontraproduktif dengan karakter membangun demokrasi yang sehat. Perilaku politik seharusnya bukan mengusung konfrontatif, melainkan mengusung ide dan gagasan.
Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah – terutama oleh pengikutnya -dalam diskursus publik secara umum. Perilaku cawe-cawe dalam politik diterima sebagai suatu kewajaran. Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan.
Akibatnya lebih jauh, demokrasi politik dan juga hukum tidak pernah mengalami kemajuan. Kita hanya disibukkan dengan “kegaduhan-kegaduhan” yang kontraproduktif dengan gagasan untuk maju. Guru, dosen, kyai, ulama diminta mengajarkan pendidikan berkarakter, tetapi politik kita – di saat yang sama mengajarkan cawe-cawe (letargi); bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses – untuk saat ini bisa jadi politik yang menang, berjaya, tetapi itu sangat ironis.
Wallahu’alam bissawab.
Penulis: Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan