Dia mengatakan kebiasaan atau kecenderungan meneruskan hoaks terjadi karena keterkaitan beberapa hal, yakni sifat yang suka berbagi informasi, malas membaca isi informasi, hanya melihat judul informasi, senang atau bangga menjadi yang pertama.
“Mencari sensasi, tidak paham, bahwa isu itu hoaks dan mengikuti tren,” kata dia lagi.
Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) ,kata Sapto telah mengadakan riset dan memperoleh data, bahwa selama 2022 ditemukan 1.698 informasi hoaks di media sosial.
“Saluran penyebaran informasi hoaks adalah, nomor satu (lewat) Facebook 36,9 persen, (kemudian) Twitter 24,5 persen, WhatsApp 13,6 persen, TikTok 9 persen, lain-lain 16 persen,” ucapnya.
Kemudian untuk meneliti hoaks atau tidaknya sebuah informasi, kata dia perlu mewaspadai judul yang berbau provokatif.