JAKARTA, Harnasnews – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menjatuhkan putusan atas sembilan hakim konstitusi dan satu diantaranya, yakni Anwar Usman, divonis melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim kategori berat.
“Sanksi untuk Anwar Usman adalah diberhentikan dari Ketua MK dan dilarang mengikuti sidang untuk jenis perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Putusan MKMK ini tetap kontributif menjaga integritas kelembagaan MK, sekalipun gagal memulihkan kematian demokrasi yang diproduksi melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023,” ungkap Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Ismail Hasani seperti dalam keterangannya, Kamis (9/11/2023).
Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah ini juga mengatakan, putusan MKMK menjadi opium dan obat penawar sesaat atas amarah publik yang kecewa dan marah dengan Putusan 90/PUU-XXI/2023, yang menjadi puncak kejahatan konstitusi (constitutional evil) dan matinya demokrasi di Indonesia.
Menurut dia, kemarahan publik bukan hanya soal kandidasi Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden Jokowi, yang melaju pesat menjadi calon wakil presiden dengan landasan Putusan 90, tetapi yang utama justru karena peragaan kekuasaan yang merusak hukum dan konstitusi guna mencapai kehendak dan kekuasaan.
“Demokrasi telah menjelma menjadi vetokrasi, dimana sekelompok orang dan kelompok kepentingan yang sangat terbatas, mengorkestrasi Mahkamah Konstitusi untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka mengikuti kandidasi Pilpres dengan dengan memblokir kehendak demokrasi dan konstitusi,” ungkap Ismail.
Selain itu, fakta bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, secara moral dan politik telah pula menjadi bukti bahwa Putusan 90 bukan diputus Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana irah-irah dalam putusan MK, tetapi demi kepentingan memupuk kuasa.
“Secara moral dan politik, Putusan 90 kehilangan legitimasi. Untuk memulihkan marwah mahkamah,,” ujarnya.
Untuk itu, SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK, sehingga tidak lagi membebani mahkamah.
Lebih lanjut, sekalipun nyaris kehilangan harapan, ruang untuk memulihkan kualitas demokrasi dan nomokrasi sesuai UUD Negara RI 1945, masih bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. MK pada (8/11) akan menyidangkan perkara uji materiil syarat Capres dan Cawapres dan juga menyidangkan perkara uji formil atas Putusan 90 yang diajukan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar,
Menurut dia, atas nama Konstitusi bisa mengoreksi Putusan 90, meski tidak akan mampu menahan laju Gibran masuk gelanggang Pilpres, karena syarat verifikasi calon presiden dan calon wakil presiden, juga diagendakan akan diumumkan pada Rabu (8/11/2023). ***