Oleh Agus Wahid
Lucu, menggemaskan, menggelitik. Itulah makna dari diksi bahasa gaul “gemoy” yang kini mendadak populer di negeri Nusantara ini. Kepopulerannya, karena salah satu calon presiden memperagakan goyang gemoy di hadapan publik yang sungguh menggemaskan.
Goyang gemoynya diperagakan usai mengambil nomor urut pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden di KPU pada 16 November, disaksikan langsung para pemimpin partai politik (parpol). Juga, goyang gemoy diperagakan pada berbagai even sosialisasi. Disaksikan berbagai elemen masyarakat.
Kita perlu menerabas dinding peghadang, mengapa ia harus goyang gemoy? Ada beberapa “tafsir”. Pertama, goyang gemoy saat pengambilan nomor urut dapat kita tafsirkan sebagai ekspresi kegembiraan, karena akhirnya berhasil mendaftar bersama cawapres kontroversial yang dinilai “anak haram” konstitusi dan cacat secara hukum, minimal etika. Tapi, secara langsung, goyang gemoy saat itu tampak meledek bahkan “melecehkan” para ketua umum partai yang bukan pengusungnya.
Saat itu, kita bisa mengclose up raut wajah Megawati yang “melongo tapi cemberut” saat ia melintasi di depannya sembari bergoyang-ria gemoy. Terkesan subyektif tafsirnya. Tapi, raut wajah cemberut dan tak bersahabat begitu menampak.
Kedua, mengapa ia masih mempertahankan goyang gemoy saat sosialisasi? Di satu sisi, goyang gemoy memang bisa menjadi strategi magnetik. Fakta di lapangan menunjukkan, hadirin tertawa terpingkal-pingkal. Pertanyaannya, apakah ia mau melawak atau sosialisasi? Jika sosialisasi, harusnya menyampaikan sejumlah pemikiran programiknya yang siap dibangun kelak saat memimpin negara. Rakyat menunggu paparan serius tentang konsep kenegaraan yang akan dibangun.
Tapi sebagai hal ketiga goyang gemoy yang selalu ditampilkan, hal ini mengundang tafsir, kontestasi pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) dianggapnya sebagai perhelatan hiburan. Persoalan kenegaraan yang demikian besar, bahkan dalam keadaan kritis akut dianggap sebagai mainan. Panorama penderitaan rakyat dianggap asesoris sosial-ekonomi yang tak perlu direspons secara empatif. Di manakah kepeduliannya? Hanya jiwa yang “sakit” yang memandang negeri ini sedang baik-baik saja. Hanya calon pemimpin yang hanya “ada dalam tempurung” yang tak mampu dan tak mau melihat dunia luar yang penuh dramatik kemanusiaan. Atau sebagai hal keempat goyang gemoy memang sengaja dilakukan sebagai pengalihan.
Kita tahu, cawapresnya tak mampu menyampaikan paparan pemikiran yang berbobot, apalagi berdiskusi secara dialogis. Titik lemah ini sengaja di insert dengan goyang gemoy. Tujuannya jelas: publik tersedot perhatiannya pada peragaannya. Publik pun tak punya waktu berdialog kritis dengan sang cawapres. Selamatlah acara sosialisasi capres-cawapres itu dari “bom” dialogis. Dan untuk memperkuat strategi (menghindari publik bertanya kritis), goyang gemoy dilengkapi dengan sebaran uang dan susu, atau makan gratis, meski sebatas anak-anak santri dan anak-anak sekolah. “Brilian” memang, tapi sungguh membodohi jutaan rakyat.
Maka sebagai hal kelima goyang gemoy yang awalnya menggemaskan berubah menjadi gerakan sistematis manipulasi massif. Penggantian dan atau pengalihan isu merupakan strategi yang tidak mencerminkan seorang negarawan. Terpaksa dilakukan hanya untuk menghidari ketidakmampuan cawapresnya untuk berfikir genuin atas persoalan bangsa dan negara ke depan. Yang menggelikan, dia mau larut dalam strategi stupid, padahal konon IQ-nya 140. Dia terperangkap skenario pengalihan itu. Siapa arsitek politiknya? Bisa dicari. Tapi, yang jelas tak lepas dari pesan istana yang tahu persis keterbatasan anaknya sebagai cawapres.
Kelarutannya menggamblangkan ambisinya. Hanya karena ambisi, ia menjadi hilang kecerdasan dan sikap idealistiknya. Jiwa superioritasnya pun ambruk diterjang oleh perilaku politiknya yang sudah anomali. Yang mengherankan lagi, lingkaran sekitarnya selaku pemimpin-pemimpin parpol yang tergolong cerdas dan berkapastitas secara keilmua pun ikut larut dalam menyaksikan goyang gemoy. Ikut tertawa ria, seolah pagelaran pilpres hanyalah ajang politik hura-hura, padahal penentu masa depan bangsa dan negara.
Sungguh menyedihkan. “Kapal besar” yang akan segera karam ini disikapi dengan pesta penuh gemerlap, bukan menyelamatkannya dengan sibuk mencari konsep-konsep solusi brilian. Tapi, itulah cara pandang dan sikap yang sejatinya kontra nasionalisme. Jauh dari jiwa sang patriot sejati. Itulah yang kita saksikan dari panorama goyang gemoy di antara capres kita.
Apakah kontestan lainnya juga latah, ikut goyang gemoy? Kita saksikan fakta, salah satunya masih ikut gemoy, meski sekian persennya dan dalam adegan beda. Hal ini karena ia pengikut pandangan “politik itu persepsi”. Cara pandang inilah yang mengantarkan gaya mix antara gemoy dengan sajian pemikiran briliannya. Genit. Masih tergolong lumayan.
Yang perlu kita catat, mengapa tidak mencari opsi kandidat yang berkelas “super”? Dari awal, dirinya bersikap bahwa sang pemimpin harus terpanggil menghadapi realitas persoalan besar di tanah air ini. Maka, yang ditampilkan bukan goyang gemoy atau mix gemoy dan sikap seriusnya, tapi totally sikap how to solve the Indonesia crises today.
Kesadaran ini yang mendorongnya menuangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk secara bersama-sama mendiskusikan persoalan bangsa dan negara dengan serius. Dirinya juga selalu terpanggil untuk berdialog secara terbuka dengan kualitas paripurna. Siap menghadapi siapapun untuk uji “tesis kualitas”. Bukan show of force, tapi rakyat memang berhak tahu jatidiri dan tekad terbaiknya untuk kepentingan bangsa dan negeri ini.
Sikap totalnya karena kesadaran intrinsik bahwa negeri ini memang harus diselamatkan, bukan lagi ajang try and error. Terlalu berisiko jika masih terhinggap khayalan bahwa kondisi saat ini masih bisa diajak bercengkerama. Negeri ini bukan mainan. Jangan dipermainkan. Cara pandang inilah yang membuat pasangan No. 1 ini sungguh serius berkompetisi secara sehat: adu gagasan terbaik. Agar, elemen bangsa selaku pemilih pun diajak cerdas pula saat menjatuhkan pilihan politiknya. Sejauh negara memberi kebebasan tanpa tekanan, maka rakyat akan menggunakan hak pilihnya sesuai nurani. Warna kebebasan seperti ini sungguh besar korelasi positifnya bagi negeri ini ke depan.
Goyang gemoy tak selayaknya dikemas lebih jauh. Akhiri gaya politik manipulatif itu. Jika tetap dipertahankan, maka publik lah yang harus lebih cerdas. Memahami keterbatasan pasangan itu, lalu hindari diri dari jebakan mautnya. Peduli yang diperlihatkan dengan bagi-bagi susu dan atau uang receh adalah jebakan batman yang jelas-jelas akan menyandera atau memasung hak-hak bangsa ini selama lim tahun ke depan.
Publik tentu berharap agar para capres/cawapres mengadu gagasan cerdas dan komitmen. Perlihatkan kepada seluruh elemen bangsa yang sudah melek hak-haknya. Agar, tidak membeli kucing dalam karung. Jangan dipaksakan buta dan dibutakan, lalu salah pilih atau digiring paksa salah pilih. Inilah kontestasi pilpres yang menelan biaya puluhan triliun rupiah, sebuah perhelatan politik demokrasi termahal di dunia ini. Sebuah perhelatan politik untuk mengakhiri krisis multidimensional negeri ini. Jangan sampai rakyat kian menderita akibat keliru pilih pemimpin nasionalnya.
Penulis: Analis Politik