Oleh: Dr. Lutfi Yondri , M. Hum
Gunung Padang dari sudut geologi merupakan bagian dari gunung api purba. Karena belum ada penamaannya oleh Ahli Gunung api Purba Prof (riset) Dr. Sutikno Bronto, M.Sc menamakannya sebagai Gunung api Purba Karyamukti. Cukup mudah saat sekarang mencapai Gunung Padang karena Pemerintah Kabupaten Cianjur telah meningkatkan sarana jalan sehingga mudah untuk dilalui baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Bagi yang berminat mengunjungi Gunung Padang tinggal mencari lewat gawainya dengan mengetik situs Gunung Padang, maka lokasi administrasi Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat menuntun para pengunjung menuju Gunung Padang.
Baik sebelumnya saya ulaskan sedikit terkait sejarah munculnya nama Gunung Padang di ranah kepurbakalaan Indonesia. Kejadiannya pertama kali dicatat oleh DR. R.D.M Verbeek pada tahun 1891, bukan pada tahun 1896. Verbeek pada tahun 1991 dalam catatannya selain mendeskripsikan situs Gunung Padang terdiri dari empat teras, juga menyebutkan bahwa setahun sebelumnya situs Gunung Padang pernah dikunjungi oleh Corte (1890).
Kuat dugaan kedatangan Verbeek dan Corte ke Gunung Padang pada saat pembangunan jalur kereta api dan terowongan Lampegan. Terowongan Lampegan sendiri merupakan terowongan jalur kereta api pertama di Indonesia yang dibangun selama 3 tahun dari 1879 sampai 1892. Setelah pencatatan oleh Verbeek, situs Gunung Padang kembali dicatat oleh N.J Krom pada tahun 1914, catatannya persis seperti yang dibuat oleh Verbeek.
Entah apa alasannya, setelah catatan Krom tidak ada berita tentang Gunung Padang, hampir 65 tahun Gunung Padang seolah tanpa berita. Situs Gunung Padang Kembali muncul di ranah penelitian arkeologi pada tahun 1979 setelah Bapak Endi, Soma dan Abidin melaporkan ke pihak pemerintah tentang penemuan mereka. Berturut-turut sejak itulah penelitian dilakukan oleh lembaga yang menangani pelestarian maupun lembaga yang menangani penelitian arkeologi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini sudah berubah menjadi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Pendokumentasian bentuk punden berundak Gunung Padang dan ekskavasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sejak tahun 1982 dan juga dilanjutkan oleh Balai Arkeologi Bandung/Jawa Barat yang turut menyumbangkan pemikiran tentang analisis batuan, sumber batuan penyusun punden berundak Gunung Padang, dan terkahir terkait umur budaya pembangunan struktur punden berundak Gunung Padang lewat pertanggalan karbon 14C dengan kisaran 117 SM-45 SM.
Pemetaan secara detil punden berundak Gunung Padang dan lingkungannya dengan batas-batas alam seperti Pasir Empet di sisi sebelah Selatan, aliran Cipanggulaan di sisi sebelah barat, aliran Cikuta di sisi timur dan aliran Cimanggu dengan luas lebih kurang 29, 1 Ha pada tahun 1985 dilakukan oleh Direktorat Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang sekarang sudah berubah nomenklatur barunya beserta Unit Pelaksana Teknis Balai Pelestarian cagar Budaya yang sekarang berubah menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan. Berbagai kajian teknis untuk upaya pelestarian dilakukan, begitu juga dengan kajian zonasi dan deliniasi sehingga akhirnya lewat Tim Ahli Cagar Budaya Nasional pada tahun 2014 Situs Gunung Padang ditetapkan sebagai salah satu Situs Cagar Budaya Nasional melalui ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 023/M/2014. Setelah 2014 penelitian arkeologi untuk mengungkap kearkeologian terus belangsung hingga kini dengan tujuan bagaimana seharusnya Situs Gunung Padang bisa dijaga kelestariannya dengan tetap memperhatikan besarnya animo masyarakat yang cukup tinggi mengunjungi situs Gunung Padang.
Cukup heboh respon dunia tentang berita Gunung Padang minggu-minggu terakhir ini. Gunung Padang yang bagian atasnya sudah dimodifikasi oleh leluhur Tatar Sunda pada masa lalu menjadi punden berundak, disebutkan di dalamnya dikuburkan bangunan raksasa yang kemudian disebut sebagai piramida. Di antaranya juga ada yang berpendapat bahwa punden berundak itu dibangun untuk menutupi kebudayaan yang lebih besar di bawahnya.
Tidak tanggung-tanggung disebutkan di bawah yang terkubur itu adalah piramida tertua di dunia dengan umur yang juga tidak tanggung-tanggung 16.000 tahun yang lalu. Dengan angka itu pastilah paling tua di dunia, melebihi usia piramida di berbagai belahan dunia, termasuk Piramida Giza.
Berita tersebut cukup menarik bagi penulis untuk menulis Gunung Padang dengan kalimat tanya Apa Iya?. Kenapa kalimat tanya apa iya itu yang dipilih karena selama ini banyak berita yang dikait-kaitkan dengan situs Gunung Padang selain piramida, di antaranya adalah munculnya dua gambar imajiner rekonstruksi bentuk punden berundak Gunung Padang yang diapit dua Sungai besar dan hamparan danau yang sangat luas di depannya, koin purba, semen purba, pasir sungai yang diayak peredam gempa, kujang raksasa, kujang bifasial, reaktor hydroelectric, membandingkannya dengan candi Borobudur, bahkan disebutkan mengandung emas berton-ton yang dulu disebutkan jumlahnya bisa untuk melunasi hutang negara. Rasanya dengan kalimat tanya Apa iya? Saya selaku arkeolog peneliti yang sudah cukup lama sejak mahasiswa pada tahun 1984 dan kemudian menjadikan Situs Gunung Padang sebagai objek kajian disertasi tertatrik untuk mengupas semua berita itu dengan kalimat tanya Apa iya?
Kembali ke berita piramida yang terkubur di Gunung Padang, ada yang menyimpulkannya berumur 7200 Tahun yang lalu, dan yang lebih tua dengan angka 16.000 tahun yang lalu, apa iya?. Tentunya untuk menjawab pertanyaan tersebut yang perlu diferivikasikan terlebih dahulu adalah dengan membuat pertanyaan pertama … seperti apa corak kehidupan Masyarakat di Nusantara pada era antara 7.200-16.000 tahun yang lalu itu?, kemudian pertanyaan kedua apakah pada era tersebut masyarakat di Nusantara ada yang membuat piramida, dan ketiga adalah ada budaya piramida di Nusantara?.
Untuk menjawab ke tiga pertanyaan tersebut sebenarnya kita telah diajarkan oleh Pak Koentjaraningrat tentang bagaimana membaca kebudayaan, inti dari pengetahuan yang beliau sampaikan bahwa di manapun di dunia ini tidak ada unsur kebudayaan yang hanya ada di satu kebudayaan saja, beliau menyebutnya dengan 7 unsur budaya universal, dan dari sudut pandang arkeologi melalui pengamatan sisa budaya material yang dikaitkan dengan masanya ke 7 unsur budaya universal tersebut ditempatkan ke dalam masa budayanya (sinkronis) dan bagaimana posisinya dalam lintasan perkembangan budaya (diakronis).
Mungkin hal ini tidak hanya terjadi di ranah pengetahuan arkeologi tetapi juga dalam lingkup pengetahuan sejarah yang terkenal dengan konsepsi jiwa zaman (zeitgeist), dan suasana budaya (cultuurgebundenheit).
Di Nusantara, berdasarkan data temuan arkeologi yang ada dari Sabang sampai ke Merauke pada era 7.200 -16.000 tahun yang lalu kehidupan manusia dan budayanya masih dalam tataran kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan atau masih dalam taraf kehidupan Mesolitik, tinggal di gua-gua alam dengan kepandaian berburu dan membuat peralatan dari batu (kapak batu, alat serpih bilah), tulang binatang (lancipan, spatula), dan kerang (moluska) yang kadang digunakan sebagai perkakas dan perhiasan). Tidak ada satupun bukti budaya pada rentang era ini yang masyarakatnya sudah mebangun konstruksi dari batu apalagi piramida.
Pengetahuan membangun struktur batu seperti mendirikan menhir, menyusun batu menjadi altar (dolmen) dan punden berundak, baru terjadi setelah terjadi revolusi Neolitik, perubahan dari hidup di dalam gua kemudian berubah hidup di alam terbuka membentuk perkampungan kecil semacam pedukuhan yang menempati area lereng bukit dan pegunungan.
Pada era inilah mulai muncul konsep kepercayaan dalam kaitan antara masyarakay yang hidup dengan orang yang mati yang kemudian melahirkan upacara pengagungan arwah leluhur. Kesimpulan para ahli, kegiatan para ahli mengalami puncak pada akhir masa prasejarah di Nusantara atau yang dikenal dengan era Paleometalik.
Jika kita Simak hasil pertanggalan berbagai situs yang berkaitan dengan kegiatan pemujaan arwah leluhur tersebut di Nusantara yang dilakukan oleh alm. Prof (riset) Dr. Bagyo Prasetyo (2018), kita tidak akan menjumpai angka pertanggalan situs di atas ribuan tahun, paling tua hanya sekitar 4 abad Sebelum Masehi. Sementara pertanggalan budaya situs Gunung Padang sendiri hanya dalam kisaran 114 tahun -45 tahun Sebelum Masehi atau paling tua sekitar 2 abad Sebelum Masehi.
Jadi dari data arkeologi dapat disimpulkan; pertama dari peta kontur tahun 1985, tidak ada struktur lain di Gunung Padang selain struktur punden berundak. Kedua, dugaan adanya piramid yang terkubur di dalam Gunung Padang dengan kronologi baik 7.200 tahun yang lalu atau 16.000 tahun yang lalu tersebut bila disejajarkan dengan data perkembangan budaya di Nusantara tidak ada jejak budaya yang telah menghasil struktur bangunan berbentuk piramida. Ketiga, sangat kecil adanya perilaku masyarakat di Nusantara menimbun piramida di dalam gunung dan menutupinya dengan konstruksi budaya lain di atasnya.
Penulis: Peneliti Ahli Utama di Pusat Riser Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra.
Sumber: Budhe Maria, (Arkeolog)