JAKARTA, Harnasnews – Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyayangkan pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saifullah Yusuf atau Ipul yang meminta jangan memilih capres yang didukung oleh Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dan Amien Rais.
Menurut Reza ada kekacauan logika dalam seruan itu karena kekhawatiran terhadap individu pelaku pidana atau pun eks narapidana (Abu Bakar Ba’asyir) justru berujung pada instruksi instruksi bermuatan politik elektoral.
“Tidak ada pembenaran terhadap terorisme. Harus ditentang, pelakunya dipidanakan. Pada sisi lain, ada tiga hal yang perlu ditinjau dari pernyataan Saifullah Yusuf dan Yenny Wahid terkait penolakan terhadap paslon yang didukung Ustad Abu Bakar Ba’asyir (Ustad ABB),” ujar Reza.
Pertama, kata dia, ABB selaku eks narapidana. “Studi di sejumlah benua menunjukkan tingkat residivisme pelaku pidana terorisme adalah sebesar 2-7 persen. Persentase tersebut dikategori sebagai sangat rendah (very low) dan jauh lebih rendah (far lower) ketimbang residivisme kejahatan umum,” katanya.
ABB sendiri, menurut Reza, telah menyatakan kembali ke NKRI.
Karenanya kata dia pihak yang masih menyebut ABB sebagai penolak Pancasila, perlu memperbarui pengetahuannya.
“Pernyataan terbuka ABB menunjukkan perubahan mindset-nya,” ujar Reza.
Ia kemudian mengutip pernyataan terbuka Abu Bakar Ba’asyir usai menjalani hukuman kasus terorisme.
“Indonesia berdasarkan Pancasila itu mengapa disetujui ulama? Karena dasarnya tauhid, Ketuhanan yang Maha Esa. Ini pun pengertian saya terakhir. Dulunya saya, Pancasila itu syirik. Tapi, setelah saya pelajari selanjutnya, ndak mungkin ulama menyetujui dasar negara syirik, itu ndak mungkin. Karena ulama itu mesti niatnya ikhlas,” kata Reza menirukan pernyataan Ba’asyir dikutip fsri wartakota, Jumat (19/1/2024).
Reza menjelaskan Kementerian Hukum dan HAM juga tentu telah melakukan risk assessment (RA) terhadap Ba’asyir.
Seandainya hasil RA menunjukkan ABB berisiko tinggi mengulangi tindak pidana, dan itu menjadi ancaman besar bagi masyarakat, menurut Reza, maka Kemenkumham dan lembaga-lembaga negara lainnya niscaya akan memberikan rekomendasinya agar ABB–dengan cara apa pun–tidak dikeluarkan dari lapas.
“Alhasil, kalau ada pihak yang ketakutan bahwa ABB akan melakukan aksi pidananya kembali, pihak tersebut perlu diinsafkan bahwa ketakutannya itu terlalu berlebihan,” katanya.
“Sekaligus, ketakutan itu menunjukkan ketidakpercayaan terhadap kerja pemasyarakatan Kemenkumham,” tambah Reza.
Kedua, menurut Reza, soal dukungan Ba’asyir terhadap paslon tertentu.
“Anggaplah, risk assessment sebatas menangkap indikator. Sementara, dukungan ABB tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi disengagement ABB dari elemen-elemen terorisme yang pernah didakwakan kepada dirinya,” beber Reza.
Disengagement itu, katanya merupakan kabar baik. “Bahwa, bukan sebatas reprogramming pada level berpikir, ABB sudah memperlihatkan perubahan pada tataran perilaku,” ujarnya.
Menurut Reza, dukungan ABB itu pun selaras dengan anjuran Bung Karno sekian puluh tahun silam.
“Menentang pembentukan negara agama, Bung Karno mendorong rakyat agar memilih wakil-wakilnya yang dinilai mampu memperjuangkan nilai dan norma keagamaan di parlemen,” kata dia.
Wakil-wakil semacam itu, tambah Reza, pada gilirannya akan memberikan warna relijius pada produk legislatif yang dihasilkan, sehingga pada gilirannya memperkokoh nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan bernegara.
“Itu pula yang secara analogis ABB lakukan. Keinginannya agar Indonesia berwarna lebih hijau ia coba realisasikan bukan dengan melalui jalur ilegal,” katanya.
Sebaliknya, menurut Reza, demi mewujudkan harapannya itu, ABB memilih aktif menggunakan hak konstitusionalnya selaku warga negara.
“Narasi ‘jangan mendukung paslon yang didukung ABB’ pun mengandung logika yang membingungkan. Narator menunjukkan sikap anti terhadap individu tertentu, tapi rekomendasi yang ia keluarkan justru bernuansa politik praktis,” tegas Reza.
Seperti diketahui paslon yang didukung Abu Bakar Ba’asyir dan Amien Rais yakni paslon nomor urut 1 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. (Red)