SURABAYA, Harnasnews – Pakar Antropologi Universitas Airlangga Surabaya Toetik Koesbardiati menjelaskan makna dari 10 ribu kentungan yang dilakukan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di acara kampanye akbar Ganjar Pranowo-Mahfud Md, di GBK, Jakarta, Sabtu (3/2).
Toetik di Surabaya, Jawa Timur, Minggu menyampaikan kentungan yang terbuat dari bambu yang dilubangi sedemikian rupa adalah alat sederhana yang saat dipukul merupakan simbol valid terhadap suatu kejadian dalam suatu masyarakat. Kentungan sendiri disebut pengirim informasi berbasis local wisdom atau kearifan lokal.
“Biasanya etnis Jawa dan Bali yang memiliki adat kentungan ini. Kalau dulu ada kode asap, atau burung untuk memberitakan sesuatu,” tutur Toetik.
Ia menjelaskan simbol bunyi dan tempo tidak pernah salah dalam mengirim pesan. Setiap nada dan tempo mempunyai makna yang berbeda. Misalnya, berita kematian akan berbeda bunyinya dengan ancaman bahaya.
“Berbeda pula jika ada undangan untuk berkumpul seperti rapat atau kenduri. Jika kentongan dengan kode tertentu dibunyikan, dengan otomatis masyarakat akan keluar untuk berkumpul sesuai dengan kode bunyi dan tempo,” ujarnya.
“Jika bunyi dan tempo enam kali lalu jedah dan diulang enam kali (doro muluk) tanda ada kematian. Orang akan segera mencari tahu siapa yang meninggal,” tambahnya.
Selain itu, lanjut Toetik, kentungan yang dibunyikan secara cepat dan tidak berjeda adalah simbol tanda bahaya (entah banjir, longsor atau binatang buas).
“Kadang kentungan juga dibunyikan sebagai petanda waktu. Semua kode tidak pernah salah,” ucapnya.