Oleh Agus Wahid
Tak bisa dipungkiri, krisis mutidimensi tengah melanda bangsa ini, bahkan sudah melanda berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ranah hukum dijungkirbalikkan. Panorama ketidakadilan terlihat di mana-mana. Panggung politik juga rusak karena terjadinya abuse of power, sehingga negeri ini kehilangan arah kekuasaan yang mendasarkan hukum dan sistem demokrasi.
Sementara, sektor ekonomi dirusak sedemikian rupa, sehigga panorama kesenjangan sosial-ekonomi makin membesar. Sungguh merupakan gambaran ketidakmanusiaan yang memprihatinkan. Dan yang lebih tragis lagi, sektor lingkungan dieksploitase dan eksplorasi tanpa batas. Untuk kepentingan kelompok tertentu. Dampaknya demikian dahsyat. Sering kita saksikan banjir bandang, longsor dan angin ribut. Semua itu terus mengancam kehidupan anak bangsa ini.
Sebuah renungan, mengapa terjadi krisis multidimensi yang demikian serius kualitas krisisnya? Jawabannya sederhana. Spirit nilai-nilai Pancasila sudah tercerabut dari berbagai elemen penyelenggara negara. Pancasila sebagai landasan filosofis bernegara tak lagi diimplementasikan secara konsisten.
Fakta bicara, di panggung kekuasaan, mulai dari Pusat hingga pemimpin Daerah, spirit Pancasila tak dipandang lagi sebagai landasan kebijakan ideal dan operasional, saat merumuskannya atau mengimplemantasikannya. Sebagai ilustrasi faktual, jabaran Sila Pertama, roda kekuasaan mengabaikan spirit Ketuhanan Yang Maha Esa. Sikap sekuleristik ini membuat perintah dan larangan-Nya tidak mewarnai serangkaian kebijakan, termasuk pada produk UU, bahkan konstitusi.
Implikasinya, perilaku kekuasaan sering menabrak masalah-masalah kemanusiaan padahal dijunjung tinggi dalam Sila Kedua. Masalah persatuan yang dicantumkan jelas dalam Sila Ketiga juga hanya dipandang asesoris politik. Terbukti, justru sering terjadi skenario adu-domba yang menggiring konflik horisontal. Minimal, terjadi skenario konflik vertikal-horisontal.
Terkait dengan sikap sekuleristik itu pula, kekuasaan tak memandang penting urgensi pemeliharaan lingkungan. Karena mengabaikan prinsip ketuhanan, maka saat menandatangani kebijakan masalah lingkungan, ia pun dalam dadanya tak sedikit pun mengingat apakah tanda tangannya akan merusak lingkungan, atau tidak. Yang muncul di benaknya hanya kepentingan pragmatis, padahal ada larangan-Nya: “janganlah merusak lingkungan. Ia tak suka terhadap pengurusakan”.
Karena larangan-Nya diabaikan, dampaknya bukan hanya reaksi alam yang sering “mengamuk”, tapi amanat konstitusi pun tak dilihat sdebagaimana mestinya. Sementara, seperti pasal 33 UUD1945 tegas tertulis, kekayaan alam (bumi, air dan yang ada di dalam) digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang terjadi adalah abuse of power. Maka, cita-cita pendiri republik terkait sila kelima Pancasila kian jauh panggang dari api.
Problemnya bukan sekedar ketidakadilan sosial-ekonomi. Tapi, membiarkan panorama kedidakadilan sangat dekat dengan reaksi anak bangsa. Sebagian reaksi melakukan pemberontakan (gerakan separatis). Sebagian lagi, melakukan gerakan anarkis-sporadis. Memang, gerakan separtisme tidak dibenarkan. Tapi, kita perlu bijak dalam bersikap, mengapa terjadi reaksi itu. Pendekatannya bukanlah represif, tapi bagaimana mewujudkan keadilan ekonomi.
Mencermati, gelombang krisis yang demikian akut itu, maka tidaklah berlebihan muncul analisis (buku novel Ghost Fleet), yang menggambarkan negeri kita akan musnah pada 2030 mendatang. Buku novel tersebut memang fiksi. Tapi, narasinya berangkat dari sejumlah fakta abuse of power dari berbagai elemen penyelenggara negara.
Karena itu, kini dalam pemerintahan Prabowo ada urgensi kuat bagaimana mengembalikan spirit Pancasila ke dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, pendekatan yang prospektif haruslah diawali dari penyelenggara negara. Dari mereka, akan lahir perlilaku kekuasaan yang Pancasilais. Produk regulasi dan kebijakan pun sarat dengan warna ruh Pancasila. Akhirnya, tatanan kebernegaraan akan terbingkai dengan spirit Pancasila itu.
Menggaris-bawahi urgensi itu, maka siapapun yang ditugaskan dalam memimpin Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pertama haruslah sosok yang anti sekulerisme. Meski Indonesia bukan negara agama, tapi Pancasila sarat dengan spritulitas keberagamaan. Kedua, dia pun menyadari keterpanggilan untuk merembeskan nilai-nilai Pancasila ke seluruh ranah, tidak hanya rumusan kebijakan, tapi juga praktik pemerintahan yang ada di pundaknya.
Itulah tekad merembesakan nilai-nilai Pancisila yang diharapkan akan membenahi Indonesia dari gelombang krisis multidmensi. Sangat urgen kondisinya. Agar bangsa dan negeri ini selamat dari bahaya kemusnahan.
Penulis: Direktur Analisis Center for Public Studies Indonesia