Golkar Kota Bekasi Pecah, Tim Pemenangan Pasangan Uu-Nurul Rungkad
KOTA BEKASI, Harnasnews – Sejumlah wilayah di Indonesia bakal menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November mendatang. Namun yang menjadi sorotan publik adalah pasca pergantian Ketua Umum Golkar, sejumlah calon kepala daerah yang diusung Golkar banyak mengalami perubahan.
Analis politik center for public policy studies (CPPS) Indonesia, Nurseylla Indra, menilai pasca suksesi Ketua Umum Partai Golkar dari sebelumnya Airlangga Hartarto yang digantikan oleh Bahlil Lahadalia, sejumlah calon kepala daerah yang diusung partai berlambang beringin itu banyak yang mengalami perubahan.
Celakanya, banyak calon kepala daerah yang diusung dari Golkar bukan kader militan, bahkan dari beberapa kader yang sebelumnya telah mendapat surat rekomendasi untuk maju sebagai cakada, namun begitu pergantian Ketum Golkar, surat rekomendasi tersebut dibatalkan, dan DPP Golkar lebih memilih calon yang bukan kader untuk maju sebagai calon kepala daerah.
Seperti halnya di Kota Bekasi, di saat Golkar di bawah kepemimpinan AIrlangga Hartarto, DPP telah memberikan surat rekomendasi kepada kader Golkar yang juga salah satu pengurus DPP Golkar Nofel Saleh Hilabi.
Kader muda Partai Golkar yang dinilai sukses menggalang dukungan dari kalangan generasi muda dan kaum hawa itu juga telah mendeklarasikan diri untuk maju sebagai cakada Kota Bekasi dan telah membentuk relawan di 12 Kecamatan yang tersebar di Kota Bekasi.
Bahkan spanduk maupun alat peraga kampanye (APK) lainnya telah tersebar di penjuru jalan utama maupun di perkampungan Kota Bekasi. Bahkan sempat diisukan juga bahwa Nofel Saleh Hilabi bakal berpasangan dengan kader PDIP Tri Adhianto.
“Namun setelah pergantian Ketum Golkar digantikan oleh Bahlil Lahadalia, DPP Golkar justru memberikan surat rekomendasi kepada non kader, yakni Uu Saeful Miqdar yang merupakan mantan Kadis Pendidikan Kota Bekasi untuk maju sebagai cakada Kota Bekasi. Kami melihatnya ada suatu yang janggal dalam keputusan tersebut. Landasan politiknya tak jelas, sehingga DPP Golkar lebih memilih Uu ketimbang Nofel,” ujar Seylla kepada Mediakarya, Ahad (20/10/2023).
Kebijakan DPP tersebut, kata dia, sontak saja mendapatkan reaksi dan sikap beragam dari kader Golkar Kota Bekasi. Di antaranya, ada yang tetap fatsun terhadap keputusan partai dan mendukung Uu Saeful Miqdar untuk maju sebagai cakada.
“Kemudian, tidak sedikit pula para kader secara diam-diam membentuk relawan tim pemenangan paslon di luar Golkar.Menariknya lagi, struktur DPD Golkar Kota Bekasi terlihat pasif dengan pencalonan Uu Saeful Miqdar,” ungkapnya.
Mantan Kadis Pendidikan itu terkesan jalan sendiri dalam menghadapi kontestasi politik Kota Bekasi ini. Selain itu, tim pemenangan yang telah dibentuk oleh struktur DPD Golkar akhirnya bubar jalan. Bahkan, kabar terakhir bahwa tim pemenangan pasangan Uu Saeful Miqdar-Nurul Sumarheni yang diketuai oleh Dariyanto mengundurkan diri.
“Sementara, sejumlah kader senior Partai Golkar Kota Bekasi lebih memilih mendukung paslon Heri Koswara-Solihin pasangan cakada yang yang diusung oleh PKS, PPP yang didukung oleh PAN, dan PSI dan sejumlah partai non-parlemen lainnya,” ujarnya.
Dia menilai pencalonan Uu Saeful Miqdar yang merupakan non-kader untuk maju sebagai cakada Kota Bekasi merupakan preseden buruk bagi Golkar Kota Bekasi. “Apa urgensinya sehingga DPP Golkar mengusung Uu Saeful Miqdar, padahal masih banyak kader militan yang siap untuk maju sebagai calon kepala daerah Kota Bekasi,” katanya.
“Jangan-jangan pencalonan Uu Saeful Miqdar ada nilai transaksi yang cukup fantastis sehingga harus menggeser kader lainnya. Atau ada upaya yang sistematis untuk menghancurkan Golkar dari dalam. Karena jika dilihat dari awal bahwa rekomendasi yang yang jatuh kepada Uu itu tidak mempertimbangkan hasil survei internal Golkar itu sendiri,” imbuhnya.
Seylla menilai Uu Saeful Miqdar tidak memiliki kompetensi dalam melakukan komunikasi politik. Selain itu, DPP Golkar dinilai terlalu ceroboh dan tanpa menganalisa lebih mendalam sehingga surat rekomendasi jatuh kepada Uu Saeful Miqdar.
“Atau DPP Golkar memiliki maksud bahwa memberikan rekomendasi kepada cakada yang dipastikan akan kalah,” katanya.
Selain itu, Uu Saeful Miqdar dinilai bukan calon yang clear dari persoalan hukum. “Baru-baru ini malah muncul kasus dugaan korupsi saat (Uu) masih menjabat menjadi kepala dinas pendidikan. Dan kami menilai pencalonan Uu sangat kompleks. karena bukan usulan kader, akan tetapi hanya karena kepentingan elit tertentu di DPP,” tutup Seylla.