JAKARTA, Harnasnews – Pakar komunikasi politik Emrus Sihombing tak sependapat dengan pernyataan Haidar Alwi yang menyebut bahwa tanpa Jokowi PDI Perjuangan bukan apa-apa.
Justru, kata dia, sebelum bergabung dengan PDIP, Joko Widodo bukan siapa-siapa, namun hanya sebatas “tukang kayu” atau (pengusaha meubel).
Emrus menilai bahwa Haidar telah membangun opini bahwa Jokowi yang membesarkan PDIP, namun tanpa disadari bahwa pernyataan itu dapat memancing kemarahan publik dan kader banteng moncong putih.
“Sepertinya Haidar tidak faham sejarah lahirnya PDIP. Perlu diketahui bahwa jauh sebelum Jokowi bergabung bersama PDIP, partai yang diketuai oleh Ibu Megawati Soekarnoputri itu pernah memenangi Pemilu,” ujar Emrus kepada wartawan, Kamis (19/12/2024)..
Lebih lanjut, jika Jokowi memiliki dampak elektoral dalam memenangkan partai tertentu, seharusnya pada pemilu 2024 lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang diketuai Kaesang Pengarep (putra bungsu Jokowi) itu, dapat lolos ke parlemen di Senayan.
Tapi sebaliknya, meski pada pileg 2024 lalu Jokowi sudah mulai berseberangan dengan PDIP, namun perolehan suara partai banteng moncong putih itu masih memenangi pemilu, yakni mendapatkan 25.384.673 suara, atau jumlah kursi di perlemen sebanyak 110 kursi.
“Jadi jika Haidar mengatakan tanpa Jokowi PDIP bukan apa-apa itu pernyataan yang menyesatkan publik. Bahkan saya siap menantang Haidar untuk berdebat membahas permasalahan tersebut,” katanya.
Selanjutnya, pada Pilkada Jawa Tengah, meski calon gubernur Luthfi-Yasin yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus juga mendapat dukungan langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan Jokowi, namun perolehan suara pasangan tersebut tidak signifikan.
Pasangan Ahmad Luthfi-Yasin hanya memperoleh 11.390.191 suara. Sementara rivalnya, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi yang hanya diusung oleh PDIP mendapat 7.870.084 suara.
“Jika dihitung rata-rata perolehan suara PDIP di Jateng masih cukup tinggi. Coba kita kalkulasikan pasangan Lutfi-Taj Yasin hanya memperoleh 11.390.191 suara dibagi 9 partai. Sementara pasangan Andika Perkasa-Hendrar Prihadi yang hanya diusung oleh PDIP mendapatkan 7.870.084 suara. Artinya tanpa Jokowi pun PDIP masih memiliki suara di akar rumput,” jelasnya.
Haidar Alwi Sesat Pikir
Sementara itu, analis Center for Public Policy Studies Indonesia (CPPSI) Agus Wahid mengaku aneh dengan pernyataan Haidar Alwi yang dinilai “membabi buta” dalam membela Jokowi.
“Bagaimana sejarahnya, PDIP tanpa Jokowi bukan apa-apa? Fakta politik bicara. Perjalanan politik Jokowi sejak ke walikota Solo, digandeng ke Jakarta dan akhirnya menjadi preseden, PDIP sangat berperan dalam membesarkan nama Jokowi,” kata Agus kepada media ini, Rabu (18/12/2024).
Yang menarik, lanjut Agus, dalam melindungi Jokowi pun di tengah parlemen hingga perjalanannya tak lepas dari peran politik PDIP.
“Data faktual bicara, barisan kontrarian (anti Jokowi) demikian besar. Inilah yang seharusnya dilihat oleh Haidar Alwi. Maklum, karakter bazzer memang selalu membalikkan keadaan yang sesungguhnya,” jelasnya.
Untuk itu, Agus menyarankan Haidar agar bicara dengan nurani, bukan “kaca mata kuda”. Selain itu janganlah bersikap “the boss is never wrong”. Sebab cara pandang tersebut sesat dan menyesatkan, selain itu tidak mengedukasi masyarakat.
“Anda harus membuka mata bagaimana peran Jokowi yang merusak sendi demokrasi di negeri ini. Sang nasionalis sejati harusnya menyadari tentang realitas politik dan kondisi negeri ini yang carut-marut. Belum, skenario jahatnya anak bangsa yang mendambakan idealitas. Mereka menjadi korban sadisme Jokowi,” jelas Agus.
Perlu diketahui juga, justru karena ulah Jokowi, PDIP babak belur. Citranya dibenamkan oleh perilaku moral hazard-nya. Kiranya masih sangat banyak jika diurai terkait kejahatan Jokowi itu.
Sebelumnya, Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), Haidar Alwi, menyatakan bahwa PDI Perjuangan tanpa Jokowi tidak akan berarti banyak. Menurutnya, keberhasilan PDI Perjuangan dalam tiga pemilu terakhir tidak terlepas dari pengaruh yang disebutnya sebagai “Jokowi Effect”.
“Tanpa Jokowi, PDIP bukan apa-apa. Dapat kursi terbanyak di DPR tiga kali beruntun itu juga sejak Jokowi populer. Sebelumnya? Ngga pernah. Megawati? Dia jadi presiden karena dipilih MPR, bukan rakyat secara langsung,” kata Haidar dalam keterangannya dikutip Selasa (17/12/2024).
Haidar menjelaskan, pada pemilu 2004, PDI Perjuangan hanya mampu berada di bawah Partai Golkar dengan perolehan suara 21.026.629 atau 18,53 persen.
Lima tahun kemudian, di pemilu 2009, suara PDI Perjuangan anjlok ke posisi ketiga di bawah Partai Demokrat dan Partai Golkar, dengan total suara yang merosot menjadi 14.600.091 atau 14,03 persen.
Situasi mulai berubah setelah Jokowi menjadi calon presiden pada 2014, di mana perolehan suara PDI Perjuangan meningkat drastis menjadi 23.681.471 atau 18,95 persen. Tren positif ini berlanjut pada pemilu 2019, dengan suara yang naik lagi menjadi 27.053.961 atau 19,33 persen.
Namun, ketika hubungan partai dengan Jokowi merenggang pada pemilu 2024, perolehan suara PDI Perjuangan kembali menurun menjadi 25.387.279 atau 16,72 persen.
Menurut Haidar, PDI Perjuangan baru berani memecat Jokowi setelah memanfaatkan pengaruh elektoralnya. Partai tersebut, menurutnya, menyadari bahwa Jokowi memiliki basis pendukung yang besar.**