Oleh : Lukmanul Hakim
Pasca pemilihan kepala daerah serentak 2024 ini, ada hembusan angin kencang yang mewacanakan pemilihan kepada daerah dipilih oleh Lembaga perwakilan rakyat (DPRD).
Wacana ini tentu tidak kaleng-kaleng karena diutarakan langsung oleh orang no 1 di Indonesia yakni Presiden Republik Jendral Prabowo Subianto.
Wacana ini terus bergulir sehingga menjadi pro dan kontra baik di kalangan ellit politik, pengamat maupun akademisi kampus. Pro dan kontra ini makin meruncing sehingga ada wacana untuk merubah UU Pilkada.
Argumentasi maupun teori berkait yang mendukung maupun yang menolak tentunya diperkuat dengan data dan fakta yang akurat sehingga bisa dikatakan baik yang pro maupun yang kontra sama- sama memiliki basis argumentasi yang jelas dan kuat.
Terlepas dari itu semua sebaiknya wacana pemilihan kepala daerah langsung haruslah di kaji secara objektif dan dipikir secara matang, jangan terburu-buru mengambil keputusan karena bisa jadi pengalaman seperti tahun 2014 silam dimana keputusan yang di ambil terburu-buru dan tanpa melibat seluruh steakholer dan pengambilan keputusan hanya mengandalkan emosi semata pada akhirnya UU Pilkada beberapa kali mengalami amandemen/revisi untuk penyempurnaan walaupun sampai sekarang UU tersebut tidak sempurna-sempurna.
Wacana ini sebaiknya di kaji secara mendalam libatkan seluruh steakholder maupun masyarakat sipil agar dapar menghasilkan pilkada yang berkualitas dan penyelenggaran bisa sesuai dengan asas LUBER dan JURDIL.
Sebaiknya Partai Politik berbena dan mengevaluasi diri, akar masalah mahalnya biaya maupun ongkos politik pada dasarnya di awali oleh perilaku ellit politik itu sendiri andaikan partai politik bisa menghasilkan kader-kader yang Pro Rakyat yang mau hidup dan berjuang demi rakyat, yang merakyat, tidak korupsi, kolusi maupun tidak membuat dinasty, sudah pasti biaya pilkada akan murah dan meriah krn betul-betul menciptakan demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat bukan kedaulatan penguasa maupun kedaulatan harta (uang). Belum lagi perilaku-perilaku penyelenggara pemilu baik itu KPU dan Bawaslu yang masih jauh dari kualitas karena komisioner terpiih lebih banyak partisan dan titipan serta hasil sogokan sehingga mewujudkan pemilihan sesuai prinsip pemilu sangatlah sulit.
Apalagi dibarengi dengan perilaku calon terpilih yg dibaratkan seperti PIL KB, sehingga ada anekdot yg menyerukan apa bedanya PILKADA dan PIL KB? ” kalau pil KB kalau lupa maka Jadi, nah kalau Pil kada kalau Jadi terus Lupa ingatan”. Oleh karena itu wacana ini sebaiknya di kaji betul secara mendalam dan objektif biarkan demokrasi ini mateng secara alamiah jangan demokrasi ini di karbit dan dikebiri. Mari kita wujudkan demokrasi yang sejati
” Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat” bukan ” Dari Rakyat, Oleh Perwakilan, Untuk Penguasa”.
Penulis: Tokoh Pemuda Perubahan Kabupaten Sumbawa.(Herman)