JAKARTA, Mediakarya – Kasus pemagaran laut yang membentang sepanjang 30,16 KM di pesisir Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, terus menjadi sorotan publik.
Pasalnya, hingga saat ini pemerintah dalam hal ini pihak yang berwenang maupun aparat penegak hukum belum juga mengumumkan siapa pelaku atau pihak yang bertanggungjawab di balik pemagaran laut di wilayah barat Jakarta tersebut.
Sementara itu, pejabat yang berwenang dalam pemberian rekomendasi, perizinan dan pengawasan pengelolaan dan penggunaan kawasan laut juga tidak mengetahui siapa aktor pemasangan pagar laut misterius tersebut.
Sebelumnya, pada Kamis (9/1/2025), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel pagar laut tersebut. Terhitung sejak penyegelan, KKP memberi waktu bagi pihak yang bertanggung jawab untuk membongkar pagar laut secara pribadi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Indonesia, sejumlah masyarakat nelayan mengaku bahwa ada kelompok pengusaha pengembang besar di balik pemagaran laut tersebut.
“Informasi yang kami dapat dari warga sekitar kelompoknya Aguan (Agung Sedayu), dan Grup Lippo dibalik pemagaran laut tersebut. Dan informasinya untuk reklamasi tahap ke 3, atau pengembangan Pantai Indah Kapuk atau PIK 3, setelah PIK 1 dan 2 berhasil,” ujar ketua dewan pembina LPKAN, Wibisono dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (16/1/2025).
Bahkan Wibi menduga di lokasi pemagaran laut itu bakal dibangun pelabuhan (informasinya sebagai pengembangan properti PIK dan pelabuhan). Namun dengan cara gratisan (tanpa ganti rugi kepada rakyat maupun negara).
“Nah apakah ada kaitannya dengan status Proyek strategis Nasional (PSN)?” katanya.
Pihaknya menduga bahwa keterlibatan Group Lippo dalam reklamasi laut di Tangerang itu setelah sebelumnya perusahaan tersebut itu gagal mengembangkan proyek pembangunan Meikarta.
Lebih lanjut, Grup Lippo memakai cara reklamasi diduga karena biayanya lebih murah, dan konsepnya “The New Jakarta”. Terkait dengan wacana itu, kata dia, tergantung Presiden Prabowo. Sedangkan KKP hanya pemantik untuk mendapatkan reaksi dari Aguan dan Lippo.
“Tujuannya memang untuk berkordinasi perijinan dan setor ke negara. Dalam hal ini apakah Prabowo berani hadapi oligarki itu?, kita tunggu aja perkembangannya,” tandas Wibi.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir (UU PWP) dan Pulau Kecil, (Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 tahun 2014) harus mengedepankan Public Acces
“Sehingga nelayan, dan semua warga negara bisa memanfaatkan dan menikmati pesisir dan laut,” ulas Wibi yang juga sebagai pengamat militer ini.
Selanjutnya, pengelolaan laut dan pesisir harus menjunjung public acces, dengan demikian adanya pagar laut jelas jelas tidak dibenarkan menurut kaidah dan value dari UU Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU Nomor 1 Tahun 2014.
“Untuk itu kami meminta agar pagar laut harus dilakukan removal tanpa kompromi,” pungkasnya. (Red)