Oleh: Ryo Disastro
Pidato Presiden Prabowo Subianto tentang ekonomi Pancasila membuka ruang diskusi yang penting mengenai arah pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam pidatonya di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Bappenas, Senin, 30 Desember 2024, Presiden menegaskan bahwa Indonesia tidak menganut ekonomi neoliberal.
Sebaliknya, ekonomi Indonesia didasarkan pada asas kekeluargaan, di mana pemerintah tidak hanya berperan sebagai wasit, tetapi juga sebagai pengayom, pemimpin, dan pelopor dalam pengelolaan ekonomi. Hal ini sejalan dengan cita-cita Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa.
Ekonomi Pancasila, sebagaimana dijelaskan oleh Dawam Rahardjo dalam bukunya Ekonomi Pancasila dan Humanisme Religius (1999), adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, seperti gotong-royong, keadilan sosial, dan kedaulatan ekonomi.
Dawam menekankan pentingnya peran negara dalam memastikan kesejahteraan rakyat, tidak hanya melalui regulasi tetapi juga dengan keberpihakan pada sektor-sektor strategis seperti pangan dan energi.
Yudhie Haryono, seorang ekonom Pancasila lainnya, mengingatkan bahwa sistem ini menolak eksploitasi dan dominasi pasar bebas yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Menurut Yudhie, ekonomi Pancasila mengutamakan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan (2003).
Dalam konteks ini, kebijakan Presiden Prabowo mengenai swasembada pangan dan energi menjadi sangat relevan. Tanpa kedaulatan di dua sektor ini, ketergantungan pada impor akan terus melemahkan posisi tawar Indonesia di kancah global
Perencanaan Sebagai Kunci Pembangunan
Pidato Presiden Prabowo menekankan pentingnya perencanaan dalam pembangunan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Bung Hatta, yang percaya bahwa ekonomi Indonesia harus disusun secara terencana untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan semata-mata mengikuti mekanisme pasar (1954).
Perencanaan yang matang memungkinkan distribusi sumber daya yang lebih merata dan mencegah ketimpangan yang kerap menjadi masalah utama di negara berkembang.
Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana prinsip ini diterapkan dalam tataran praktik? Beberapa program pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran, telah menunjukkan komitmen terhadap perencanaan strategis.
Meski demikian, masih banyak tantangan dalam memastikan bahwa pembangunan ini benar-benar memberikan manfaat langsung bagi masyarakat kecil, terutama di daerah terpencil yang belum terjangkau infrastruktur secara maksimal.
Perlindungan Komprehensif bagi Rakyat
Prabowo juga menegaskan bahwa tujuan pembangunan nasional adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Perlindungan ini mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam perspektif ekonomi Pancasila, ini berarti menciptakan sistem yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi juga keadilan sosial.
Sayangnya, beberapa kebijakan pemerintah masih cenderung berpihak pada kepentingan besar. Misalnya, pengelolaan sumber daya alam seperti tambang dan hutan sering kali tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial.
Kontrak-kontrak dengan perusahaan multinasional sering kali lebih menguntungkan pihak asing dibandingkan masyarakat lokal. Belum lagi persoalan lingkungan yang ditinggalkan oleh banyak bekas tambang.
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, hal ini mencerminkan kegagalan dalam menerapkan nilai-nilai ekonomi Pancasila secara konsisten.
Swasembada Pangan dan Energi
Mimpi yang Belum Tercapai
Komitmen Presiden Prabowo terhadap swasembada pangan dan energi menunjukkan visi yang jelas mengenai kedaulatan ekonomi.
Namun, di lapangan, pencapaian swasembada ini masih jauh dari harapan. Ketergantungan pada impor pangan seperti beras, gula, dan kedelai masih “hantu ekonomi” kita.
Demikian pula dengan energi, di mana Indonesia masih mengimpor bahan bakar minyak dalam jumlah besar meski memiliki cadangan energi yang melimpah.
Dawam Rahardjo dalam salah satu tulisannya menyoroti pentingnya revitalisasi sektor pertanian dan energi berbasis rakyat. Menurutnya, pemerintah harus memberikan insentif yang kuat bagi petani kecil dan usaha mikro di sektor energi terbarukan. Tanpa itu, swasembada hanya akan menjadi retorika tanpa realisasi.
PR Pemerintah ke Depan
Meskipun pidato Presiden Prabowo menggambarkan visi yang ideal, implementasi teori ekonomi Pancasila di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dan menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang baru berjalan.
Pertama, ketergantungan pada investasi asing sering kali mengorbankan kedaulatan ekonomi. Kedua, birokrasi yang lamban dan korupsi menghambat efektivitas kebijakan ekonomi yang pro-rakyat. Ketiga, ketimpangan ekonomi masih menjadi persoalan serius.
Data BPS menunjukkan bahwa rasio gini Indonesia pada tahun 2024 tetap berada pada level 0,39, yang mengindikasikan kesenjangan pendapatan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan redistribusi ekonomi belum berjalan optimal.
Untuk mewujudkan ekonomi Pancasila, diperlukan komitmen yang lebih kuat dari seluruh elemen bangsa. Pemerintah harus berani menindak tegas praktik-praktik ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, seperti monopoli, eksploitasi buruh, dan perusakan lingkungan.
Selain itu, pendidikan ekonomi Pancasila perlu ditanamkan sejak dini. Generasi muda harus memahami bahwa pembangunan ekonomi bukan hanya soal angka-angka pertumbuhan tetapi juga soal keberlanjutan, keadilan, dan kedaulatan.
Pidato Presiden Prabowo adalah langkah awal yang baik untuk membangkitkan kembali diskusi tentang ekonomi Pancasila. Namun, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa gagasan ini diterjemahkan ke dalam kebijakan nyata yang membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan oleh Yudhie Haryono, “Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang memanusiakan manusia, bukan sekadar mengejar laba”.
Penulis: Peneliti Nusantara Centre