
Oleh Agus Wahid
Ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil berunjuk rasa. Tidak hanya di tengah Jakarta. Di berbagai penjuru Tanah Air pun menunjukkan atraksinya. Sama tema yang disuarakannya: Indonesia gelap. Namun, kritikan tajam dari mahasiswa dan sejumlah kalangan justru direspon Prabowo dengan kalimat ndasmu.
Sungguh layak untuk kita kritisi lebih jauh respons Prabowo itu. Pertama, tiadanya kesadaran introspektif dalam mencermati ketidakpercayaan publik yang demikian meluas. Dirinya merasa, sejumlah kebijakan yang diambil on the track, terkait ekonomi, hukum bahkan management anggaran untuk pemerintahannya.
Sementara, ribuan bahkan boleh jadi ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat sipil menilai seratus hari pemerintahannya belum ada gebrakan yang signifikan. Memang, dalam kaitan pemberantasan korupsi, rakyat melihat komitmen kuat untuk mengejar para koruptor. Sampai Antariksa pun akan dikejar. Tapi, tergolong kelas “teri”. Tidak maksimal sampai ke kelas bandit dan mafia yang mengakibatkan negeri ini hancur secara ekonomi, bahkan sisi hukum dan politiknya.
Jika ada gebrakan hukum yang mengarah kelas mafia, pasti targetnya adalah sosok manusia biasan yang tidak dekat dengan kekuasaan. Bukan inner circle nya. Tak terkait dengan mantan pejabat negara. Sementara, publik mencatat jelas bahwa Jokowi biang kerok dari seluruh dampak destruktif negeri ini dari berbagai sendi. Tapi, Prabowo justru membangun image hubungan yang demikian mesra. Bahkan menyanjung puja setinggi Bintang Truroyya. Tak peduli dengan suara mahasiswa dan masyarakat sipil yang mendorong (menghendaki) Jokowi segera diseret ke lembah peradilan.
Di sisi lain, di saat rakyat menjerit karena problem sosial-ekonominya, justru Prabowo melakukan penghematan anggaran negara yang cukup fantastik, tanpa memilah anasir mana yang harus dihemat. Dan dalam masa bersamaan, Prabowo justru menggemukkan kabinetnya menambah staf khusus (stafsus) yang sejatinya masih bisa dihandle oleh orang dalam (ordal) yang ada di kementeriannya.
Yang lebih memilukan, di tengah pemotongan anggaran, justru Prabowo mendirikan badan khusus Danantara. Sebuah badan khusus untuk mengelola alur kegiatan bisnis BUMN, yang 50% devidennya direplace ke Danantara. Untuk start awal pengelolaannya konon digelontorkan Rp 300 triliun. Dan dana ini konon juga diambil dari kebijakan yang mengatasnamakan efisiensi anggaran. Dana start awal diharapkan mampu mengkalitalisasi potensi kisaran dana Rp 14.000 triliun. Akan terealisasikah pengelolaan Danantara secara transparan dan berkejujuran?
Namun demikian, transparansi dan keberjujuran sangat tergantung kualitas sumber dayanya. Jika kualitas moralnya bandit, mana mungkin bisa diharapkan kinerja terbaiknya. Di tengah keraguan itu kita saksikan, kenapa di tengah Danantara terdapat nama Jokowi, Kaesang dan Luhut dalam struktur Danantara? Di mana keunggulan ketiga manusia itu? Nothing sama sekali, kecuali satu: “raja di raja” untuk urusan menggarong keuangan negara. Kok, ketiga manusia seperti itu diberi kesempatan pada badan khusus Danantara itu. Prabowo benar-benar “buta” informasi publik. Setidaknya, tak pernah membaca dan mendengarkan suara rakyat.
Yang perlu dicatat lebih jauh, Danantara dalam banyak analisis menjadi faktor mempergelap masa depan bangsa dan negara. Tidak hanya sektor ekonomi dan bisnis, tapi implikasinya pada panggung politik, sosial bahkan hukum. Sebab, demi keberlangsungan Danantara yang bakal dipenuhi akan diberlakukan praktik tricky. Yaitu, menabrak berbagai rambu hukum, suasana politik dan panorama sosial. Karena itu, hanstag #indonesiagelap yang dikumandangkan kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil adalah bayang-bayang hitam yang semakin gelap bagi masa depan negeri ini.
Sebuah renungan, apakah ratusan ribu kaum mahasiswa dan masyarakat sipil itu salah dalam menangkap substansi kebijakan pemerintah saat ini yang sudah terlihat dalam 100 hari lalu? Hanya manusia yang punya vested interest (kepentingan pribadi dan atau golongannya) yang memandang salah atau keliru cara berpikir kalangan kontrarian mahasiswa dan masyarakat sipil tu. Di mata rezim penguasa, kontrol atau kritik apapun yang dilakukan kaum mahasiswa dan masyarakat sipil selalu dipandang sebaliknya: salah dan selalu salah. The boss is never wrong.
Kedua, reaksi penguasa yang nyinyir terhadap gerakan “Indonesia gelap” menunjukkan tiadanya empati terhadap krisis yang melanda rakyat dan negara di depan mata saat ini. Kasus teranyar (kelangkaan gas 3 kg yang sempat menewaskan satu jiwa anak bangsa dan kesengsaraan akibat antrian panjang untuk mendapatkan gas) dipandang sebagai pemandangan fatamorgana. Hiburan sosial semata.
Tak terlalu jauh beda makna krisis empatinya, rezim ini hanya gertak sambal saat menghadapi pagar bambu sepanjang 30,16 km di perairan Pantai Utara di Tangerang dan Bekasi. Anehnya, Menteri ATR yang telah mencabut HGB atas penancapan pagar bambu, baru-baru ini Kementerian ATR memulihkan kembali 58 HGB itu. Takut atau tunduk dengan Aguan? Maybe yes. Nusron Wahid hanyalah pion pelaksana rehabilitasi 58 HGB itu. Berarti, rezim Prabowo ini memang tunduk pada cengkeraman A Guan cs. At least tunduk pada genggaman Jokowi.
Ketika ketundukan itu terjadi, maka terbayang: 371 titik reklamasi siap berjalan lagi. Berarti, di depan mata megaproyek One Belt dan One Road (OBOR) akan siap dihidupkan lagi pengerjaannya. Sementara, kita tak bisa memungkiri, megaproyek OBOR sarat dengan desain aneksasi negeri ini. Di wilayah-wilayah reklamasi akan bermunculan pangkalan militer China.
Tidak tahukah Prabowo tentang grand design dalam Nawacita zaman Jokowi? Bulshit jika Prabowo tak tahu strategi jahat Jokowi-China itu. Kini, Prabowo sedang bertarung nuraninya melawan ucapan dan tindakannya. Di atas kertas dan berangkat dari catatan mutakhir, Prabowo akan larut bersama para pengkhianat negeri ini. Sungguh malang Prabowo. Sosok yang dikenal patriot dan nasionalis sejati, tapi tampaknya harus luntur saat menghadapi kekuatan oligarki plus Jokowi.
Aneh bin ajaibnya, rezim ini memandang sebelah mata terhadap gerakan kontrarian mahasiswa dan masyarakat sipil. Itulah sebagai catatan ketiga kesombongan penguasa. Dumeh kuwoso (mentang-mentang berkuasa), dirinya tak lagi memandang rakyat yang sedang galau menatap masa depannya yang gelap.
Lalu, di mana konsistensimu wahai Mr. Presiden saat dirimu sampaikan sikap politik di hadapan Rapim TNI dan POLRI beberapa waktu lalu agar tidak boleh menyakiti rakyat? Retorika bulshit. Hanya omon-omon. Pidato mu saat hari pertama pelantikan ambyar total. Tak lagi memberikan harapan yang mencerahkan bagi anak bangsa negeri ini. Reaksi publik untuk “kabur aja” pun disikapi secara tidak etis, meski Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang merespon hanstag #kaburaja.
Secara obyektif, sikap mau “kabur aja” sesungguhnya merupakan refleksi dari skeptisisme generasi kini. Pasca lulus sekolah atau kuliah, tak lagi bisa berharap di negeri ini untuk mendapatkan pekerjaan. Jangankan jenis pekerjaan yang layak, ketersediaannya pun dipertanyakan. Sementara, di luar negeri menjanjikan prospek kehidupan yang lebih baik, di samping ketersediaannya. Salahkah mereka yang ingin menggapai impian, sementara di dalam negeri memang gelap? Uniknya lagi, Bahlil Lahadalia menilai mereka yang siap mencari kerja di luar negeri dinilai sebagai sikap a nasionalis. Sungguh dangkal pemikiran Menteri ESDM itu. Anehnya lagi, sosok yang tidak memiliki prestasi dalam Kabinet Merah Putih itu masih dipertahankan. Negeri Konoha memang aneh bin Ajaib. Dan itu tak lepas dari cara pandang presiden dan wakil presidennya.
Akhirnya, kita perlu mencatat “gelap ndasmu” mencerminkan makna arogansi penguasa yang tak mampu menyadari kondisi obyektif negeri ini. Sebuah ketidaksadaran yang mengiringinya congkak. Rakyat dipancang tiada. Memprihatinkan. Tapi, itulah karya politik yang dihasilkan dari proses yang penuh manipulasi.
Penulis: Analis Politik