Pemerintah Disarankan Tunda Penerapan Aturan Pajak E-Commerce
JAKARTA, Harnasnews.com — Pemerintah sebaiknya menunda pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) yang rencananya diberlakukan pada 1 April mendatang.
Penundaan Peraturan Nomor 210/PMK.010/2018 itu diperlukan agar ada cukup waktu bagi pemerintah untuk mengkaji lebih jauh, secara cermat dan hati-hati, mengenai dampak negatif dari kebijakan itu terhadap industri maupun pelaku e-commerce dan marketplace, yang notabene merupakan industi yang baru lahir (infant industry).
“Jangan sampai penerapan PMK 210/2018 memukul ekonomi digital nasional,” kata Stevanny Limuria, Deputy Head of Research and Analysis Katadata dalam Katadata Forum bertajuk “Aturan Perpajakan dan Keberlangsungan Industri e-Commerce di Indonesia” yang digelar Katadata Insights Centre (KIC) di Aston at Kuningan Suites, Kamis (28/3).
Dengan tujuan menciptakan kesetaraan di antara para pelaku ekonomi, pemerintah pada 31 Desember 2018 telah mengeluarkan PMK 210/2018.
Regulasi ini akan berlaku efektif pada 1 April 2019.
Aturan baru ini mewajibkan pedagang (seller) yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau beromzet Rp 4,8 miliar setahun untuk memungut PPN 10 persen dari pembeli (buyer), dan selanjutnya menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Sementara itu, untuk pedagang atau penyedia jasa yang belum berstatus PKP, tidak diwajibkan memungut PPN dari konsumen. Namun, diwajibkan menyetor Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace.
Melalui kewajiban penyerahan NPWP dan NIK ini, pemerintah berharap akan terjadi perluasan basis wajib pajak. Persoalannya, kata Stevanny, belum ada mekanisme yang efektif dan aturan terperinci mengenai penerapan aturan ini bagi media sosial. Padahal, sebagian besar transaksi e-commerce dilakukan via media sosial.
Berdasarkan survei idEA pada 2017 di 10 kota di Indonesia, transaksi online melalui media sosial seperti FB dan Instagram mencapai 66 persen. Hanya 16 persen penjual dan pembeli yang menggunakan platform marketplace.
Menurut Stevanny, tingginya transaksi e-commerce di media-media sosial menunjukkan bahwa penerapan PMK 210/2018 sebagai upaya profiling dan memperluas basis wajib pajak dari merchant dan pedagang yang 99 persennya merupakan pengusaha mikro, berpotensi sulit tercapai.