Eksploitasi Air Tanah Jangan Berlebihan
Bali, Harnasnews.com – Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar menekankan agar tidak merusak Cekungan Air Tanah (CAT) maka eksploitasi air tanah harus dikelola dengan baik. Eksploitasi air tanah yang berlebihan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan turunnya permukaan tanah.
“Pengelolaan air tanah harus memperhatikan antara pemasukkan dengan pengambilan, harus ada keseimbangan. Beberapa tahun ini pengambilan air tanah di beberapa tempat pengambilannya sangat banyak, data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sumber air untuk kebutuhan pokok itu hampir 70% berasal dari air tanah, sehingga keberadaannya perlu diperhatikan, baik mulai dari pengendalian pengambilannya hingga bagaimana konservasinya untuk mengembalikan lagi fungsi-fungsi imbuhan, agar tercipta kembali keseimbangannya,” ujar Rudy di acara Talkshow Air Tanah dengan tema: “Penyelamatan Air Tanah dalam Mendukung Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan,” di Bali hari ini, Rabu, (7/8)
Ditambahkan Rudy, proses pengendalian pengambilan dan pemberian perijinan perlu dibatasi. Arah kebijakan Pemerintah adalah bagaimana kita mengendalikan pengambilan air tanah dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuat, jangan sampai terjadi seperti sekarang ini, banyak terjadi kekeringan di berbagai wilayah karena kekurangan asupan keseimbangan airnya.
Pengelolaan air tanah oleh Pemerintah dilakukan berdasarkan konsep one basin one management, yaitu pengelolaan air tanah di setiap cekungan air tanah dengan mengutamakan batas CAT, bukan mengutamakan batas administrasi daerah. Sehingga dalam pengelolaannya, para pemangku kepentingan diharapkan dapat bekerja sama dengan baik agar air tanah tetap terjaga kelestariannya.
Khusus Pulau Bali, Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan pemetaan konservasi air tanah di CAT Denpasar-Tabanan (2011), dan ditemukan adanya zona rawan. Zona rawan merupakan zona yang menunjukkan terjadinya penurunan muka air tanah 40-60% atau terjadinya intrusi air laut akibat pengambilan air tanah, yang ditandai dengan kenaikan nilai daya hantar listrik sampai dengan 1.000-10.000 mg/liter.
Untuk CAT Denpasar-Tabanan, zona rawan diindikasikan oleh penurunan muka air tanah (belum ada indikasi intrusi air laut), yaitu di daerah Sumerta Kaja (Denpasar), dan Sading (Badung). Pada tahun 2014, survei oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali menunjukkan meluasnya zona rawan air tanah, berupa penurunan muka air tanah meliputi Semarapura, Sumerta Kaja (Denpasar), Sading (Badung), Sudimara dan Tabanan; serta terjadinya intrusi air laut di Nusa Dua dan daerah pantai barat (sepanjang Pantai Kuta).
Meluasnya zona rawan air tanah di daerah tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya pengambilan air tanah dalam jumlah yang tidak seimbang bila dibandingkan dengan jumlah pengimbuhan air tanah. Di sisi lain, suplai air bersih dari PDAM belum dapat mencukupi kebutuhan air bersih baik bagi penduduk, maupun bagi sektor pariwisata. Sehingga bagi sektor pariwisata, terjadi ketergantungan pemenuhan air bersih dari air tanah. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan air tanah yang telah dilaksanakan.
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang maju dalam sektor pariwisata.
“Di pulau ini, pariwisata lebih berkembang di bagian selatan, dibandingkan daerah lainnya. Sisi selatan ini merupakan daerah hilir dari sistem hidrologi, baik dari sisi air permukaan (air sungai) maupun dari sisi sistem air tanah, yaitu sebagai daerah lepasan air tanah,” kata Andiani, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi.
Andiani melanjutkan, berdasarkan Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2017 tentang Cekungan Air Tanah di Indonesia, terdapat delapan buah Cekungan Air Tanah (CAT) di Bali, yaitu CAT Denpasar-Tabanan, CAT Singaraja, CAT Amlapura, CAT Negara, CAT Gilimanuk, CAT Nusa Penida, CAT Nusa Dua, dan CAT Tejakula. (Vidi/Red)