Kajari : Kasus Dana Reses Ditutup dan Tidak Ada Istilah SP3
SUMBAWA,Harnasnews.com – Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumbawa Iwan Setiawan SH M.Hum menegaskan penyelidikan kasus pengunaan dana reses anggota DPRD Sumbawa tahun 2018 telah ditutup, menyusul hasil ekspose di Kejaksaan Tinggi NTB, Selasa (19/11/2019).
“Penyelidikan terhadap dana reses DPRD Sumbawa ditutup, bukan dihentikan karena masih tahap penyelidikan. Berbeda jika sudah tahap penyidikan baru bisa disebut dihentikan dan kemudian diterbitkan SP3. Jadi tidak tepat kalau ada istilah SP3 karena ini masih tahap penyelidikan,” ujar Kajari, kepada awak media di ruang kerjanya, Rabu (20/11/2019), menyikapi informasi yang beredar di masyarakat .
Diakui Kajari, pihaknya bersama tim penyelidik tetap mengedepankan profesionalisme dan azas proporsional dalam menangangani perkara tersebut. Sehingga pihaknya sangat berhati hati dalam menangani perkara tersebut hingga kemudian digelarnya ekspose di Kejati NTB.
“Kenapa kami ekpose di Kejati?, karena anggota dewan adalah public figure, bersifat masive karena melibatkan banyak orang dan banyak menyita perhatian publik. Selain demi objektifitas, transparansi, professional dan proporsional kami dalam penanganan perkara ini,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, penyelidikan kasus pengunaan dana reses anggota DPRD Sumbawa tahun 2018, akhirnya ditutup karena tidak ditemukan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.
“Kesimpulannya tidak ditemukan adanya kerugian keuangan Negara dalam kasus tersebut, “ ungkap Kasi Pengkum Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB Dedi Irawan, SH, MH kepada wartawan, Selasa (19/11/2019).
Kesimpulan tersebut, lanjut Dedi sapaan akrab pejabat asal Sumbawa ini, berdasarkan hasil ekspose yang dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, Wakil Kejati NTB, Kajari Sumbawa, Koordinator, Satgas Tipikor Kejati Ntb serta para kasi Kejari Sumbawa dan tim penyelidik.
Dalam ekspose tersebut, ketua tim penyelidik memaparkan hasil penyelidikan terhadap empat mata anggaran reses, yakni makan minum sebesar Rp 23.000.000, ATK Rp 4.500.000, biaya sewa ruang Rapat Rp 4.770.000 dan biaya dokumentasi dan dekorasi Rp 1.630.000.
Dedi menambahkan, dari anggaran tersebut dipergunakan untuk tiga kali Reses yaitu Maret, Juni, November Tahun 2018 oleh sebanyak 45 anggota dewan dan 3 anggota dewan Pergantian Antar Waktu (PAW).
“Dari hasil penyelidikan untuk biaya makan minum untuk 3 kali reses Rp. 786.624.000,” tandasnya.
Dikatakan, berdasarkan keterangan saksi membenarkan bahwa peserta diberi makan minum. Dimana biaya makan minum telah dipergunakan sebagaimana peruntukannya.
“Namun bukti SPJ yang digunakan adalah bukti lain yang seharusnya menggunakan NPWP di tempat membeli makan minum,” terangnya
Hasil audit BPK, sambung Dedi, sejumlah uang tersebut harus dikembalikan dan oleh BPK menyerahkan LHP tersebut pada inspektorat untuk ditindaklanjuti.
“Setelah dilakukan klarifikasi ternyata 20 orang harus mengembalikan sebesar Rp. 218.281.000 dan rekomendasi BPK tersebut telah dilaksanakan oleh anggota dewan tersebut dengan menyetorkan ke Kas Negara pada PT.Bank NTB,” timpalnya.
Sedangkan untuk Biaya ATK, diakui Dedi, tidak dilaksanakan sebagaimana peruntukannya namun pada setiap kali reses masyarakat meminta bantuan lain sehingga berdasarkan persetujuan dewan dana ATK sebesar Rp. 4.500.000, per anggota dewan dengan total Rp. 648.000.000,- dialihkan utk pembiayaan lain seperti pembelian Genset Desa, Sound Sistem, Sembako, Kursi, wairless, bahan bangunan dan sebagainya.
“Untuk pembelian barang tersebut dibuktikan dengan adanya SPJ,” tukasnya.
Begitu juga, terang Dedi, Biaya Sewa dan Rapat serta dokumentasi telah dilaksanakan sesuai peruntukannya dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Jadi berdasarkan Hasil Penyelidikan tersebut, Tim Penyelidik menyimpulkan tidak ditemukan indikasi merugikan keuangan negara dan peserta ekspose sependapat dengan Tim Penyelidik untuk dihentikan dan jika dikemudian hari ditemukan bukti baru maka penyelidikan dapat dibuka kembali,” pungkasnya.(KA/Herman)