Harnasnews.com – Sekitar 9 hari yang lalu saya meninggalkan Jawa Timur, tempat saya menghabiskan 3 bulan terakhir untuk belajar Bahasa Inggris ,seperti yang sahabat ketahui, Jatim telah menjadi salah satu Provinsi yang di merahkan dalam peta pesebaran Covid-19 sejak sebulan yang lalu dan hal ini membuat saya menyandang status ODP saat tiba di NTB,persis ketika menginjakkan kaki di bandara.
Selanjutnya,saya menjalani masa karantina mandiri di kota Sumbawa besar selama seminggu, setelah memastikan kondisi badan saya baik – baik saja tanpa covid symphtoms,saya melanjutkan perjalanan pulang ke kampung halaman saya di pedalaman Pulau Sumbawa, Desa Tepal. Desa Tepal merupakan salah satu desa di pegunungan Sumbawa yang masi sangat tertinggal dari segala indikator kemajuan, mulai dari SDM hingga Infrastruktur.
Keterbelakangan ini kemudian membuat saya membayangkan kemungkinan – kemungkinan buruk yang di hadapi Masyarakat desa saya jika seandainya ada salah satu warga desa terjangkit Covid-19-Nauzubillah. Jujur saja, saya takut membayangkan persoalan ini menjadi nyata sebab ini jelas akan menjadi sangat sulit bagi kami masyarakat desa, perawat dan bahkan aparat.
Alasan utama adalah Infrastruktur jalan yang menghubungkan desa kami dengan kota tempat Rumah sakit rujukan terdekat yang masi jalan tanah dan belum di aspal, kondisinya sedikit mirip dengan sungai kering, licin bebatuannya dan kubangan lumpurnya yang setinggi lutut orang dewasa menggenang di setiap jarak 50an Meter.
Kendaraan yang beroperasi di tempat kamipun hanya hardtop dan motor win atau trail. Tidak mungkin ada ambulan yang sanggup menjemput kami seandainya ada warga yang positif terjangkit covid-19. Jarak yang hanya 63Km ditempuh selama sehari penuh dengan hardtop, inipun jika tidak ada kendala macet berupa ganti ban, bocor oli atau bahkan jebol rem di tanjakan licin setinggi 100an meter atau turunan berbatu tajam setinggi 50an meter ditengah – tengah hutan. Sering sebenarnya hardtop – hardtop ini macet di jalan dan terpaksa membangun tenda sampai esok hari atau bahkan lusanya, tapi ditengah pandemi,kejadian serupa sungguh kami tolak balakan.
Alasan kedua adalah tenaga medis yang terbatas. Kampung kami berpenduduk lebih dari 500 Kepala Keluarga yang tersebar di 5 dusun terpisah,jarak antar dusun sekitar belasan KM dan masuk ke tengah hutan dengan kondisi jalan yang lebih parah dan tidak bisa dilalui kendaraan. Secara keseluruhan desa kami memiliki 1 orang tenaga perawat perempuan dan dua orang bidan ,itupun salah satu bidan bukan orang asli kampung ini.
Saya membayangkan, andaikan ada satu saja orang sakit, ibu perawat akan sangat panik, selain karena APDnya yang tidak ada, masalah rujuk juga akan sangat membingungkannya,sebab tidak ada satu hardtop pun yang sanggup membawa pasien covid, jadi kemungkinan besarnya mereka akan membiarkan pasien sembuh atau mungkin mati dengan sendirinya. Meskipun demikian,bagi kami ibu perawat dan ibu bidan adalah pahlawan, mereka telah mengabdikan diri di kampung ini selama bertahun-tahun dan merelakan diri hidup disini membersamai warga meskipun tanpa jaringan internet dan sinyal hape yang acakadut naik turun.
Kekhawatiran saya yang selanjutnya adalah pemenuhan kebutuhan Masyarakat desa jika pemerintah memberlakukan karantina seperti yang terjadi di Lunyuk-salah satu kecamatan di Sumbawa tempat asal pasien 01 di kabupaten kami. Memang iya kami sehari – hari makan dan minum dari hasil alam, sayur mayur dan kebutuhan sehari – hari semuanya kami ambil dihutan dan kebun – kebun halaman, namun pemberlakuan karantina akan membuat sebagian penduduk kami takut keluar rumah dan beraktitivitas, selain ketakutan pada penyakitnya, sebagian dari mereka juga takut pada orang – orang berseragam dengan senapan di samping, mungkin karena bapak – bapak berseragamnya suka membentak dan mengusir.
Stok kebutuhan primer yang terbatas juga menjadi masalah. Tidak ada pasar di kecamatan kami, pasar terkdekat berada di kota Sumbawa besar, yang ada ditempat kami hanya kios – kios kecil yang menjual barang – barang pertanian dan bahan pokok yang sangat terbatas,itupun harga – harga juga sangat melambung jauh dari standart harga biasa di kota . Contohnya beras merk srikaya,jika harga normal di kota beras ini Rp. 250.000 di hari biasa,ditempat kami harganya Rp. 350,000 di saat yang sama, dan saya memprediksi harganya akan menjadi setengah juta di musim kelangkaan seperti ini. Lalu Siapa yang sanggup membeli?
Kekhawatiran terakhir dan mungkin yang paling saya khawatirkan adalah amnesia para penjahat, eh Pejabat maksutnya, terkhusus yang pernah datang dan berdialog dengan kami Masyarakat desa soal master plan pembangunan desa di masa depan, kita sebut saja mas Fahri hamzah, Dr. Zulkiflimansyah dkk yang pernah datang dan berdiskusi dengan kami, mereka sudah melihat potensi dan bahkan menikmati sajian kopi ala – ala kami masyarakat Tepal, komentarnya sih ” Tepal ini potensi alamnya luar biasa, ” katanya . Namun setelah besok hari berganti dan dasi dikencangkan, kata – kata mereka bagai debu di bawa angin. Terbang entah kemana.
Semoga derita berlipat ini segera berlalu.(Herman)