Oleh: Prof. Dr. M. Arief Amrulah, S.H, M.Hum
Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, merupakan langkah strategis dalam beradaptasi dan antisipasi dengan perkembangan baik internal nasional maupun eksternal internasional, di samping itu kehendak untuk melakukan perubahan tersebut pada dasarnya juga sejalan dengan politik hukum ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003.
Di mana Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 telah meratifikasi United Nations ConventioN Against Corruption (UNCAC), 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), berarti telah mengadopsi norma-norma dalam konvensi itu.
Di antaranya, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Konvensi yang berkaitan dengan kerjasama antara badan nasional yang berwenang, bahwa “negara pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mendorong sesuai dengan hukum nasionalnya, kerjasama antara badan nasional yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan, khususnya lembaga keuangan ……” Demikian juga dengan diratifikasinya United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009.
Kebijakan meratifikasi konvensi mengenai Transnational Organized Crime (TOC) dilakukan, mengingat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam, dan maraknya tindak pidana.
Tindak pidana tersebut pada saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya. Posisi Indonesia, sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, turut menandatangani Konvensi TOC itu pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia, sebagai perwujudan komitmen dalam memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral, regional, ataupun internasional.
Bahkan dalam merespon perkembangan yang terjadi secara internal nasional saat ini yang menghendaki adanya Rasa keadilan masyarakat dalam penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan seperti Pencurian yang nilai kerugiannya minim, maka Jaksa harus dapat menuntut atau bersikap dengan berpedoman pada Keadilan Restoratif. Karena itu, dalam penegakan hukum tidak hanya menggunaan pendekatan preventif-represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya Mediasi Penal.
Arah pembaharuan hukum atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, telah tercermin dalam legal spiritnya, di antaranya “bahwa untuk menjamin kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan negara, terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun”
Kedudukan jaksa berdasarkan prinsip Dominus Litis merupakan prinsip yang memberikan kewenangan kepada Jaksa sebagai pengendali perkara dan satu-satunya institusi yang dapat menentukan apakah suatu perkara dapat diajukan ke tahap Penuntutan atau tidak. Proses Penuntutan dimulai dari Penyelidikan sampai dengan Eksekusi.
Bahkan, Kejaksaan juga dapat melakukan tindakan hukum lainnya dalam rangka penuntasan suatu perkara antara lain penelusuran, pelacakan, perampasan, dan pemulihan aset, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan lain sebagainya, yang sejalan dengan semangat ratifikasi Konvensi tersebut. Mengacu pada prinsip dominus litis, bahwa kejaksaan memiliki tugas utama menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan ketika suatu perkara dilanjutkan atau diperiksa di Pengadilan.
Penguatan prinsip Dominus Litis tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 di mana Penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya SPDP. Putusan tersebut mencerminkan penegasan, bahwa prinsip Dominus Litis hanya dimiliki oleh Jaksa.
Hal itu sangat logis, karena mulai dari penuntutan sampai pada pelaksanaan putusan ada pada jaksa. Selain itu, dengan adanya putusan MK tersebut, sesuai dengan semangat dalam ketentuan Pasal 39 UNCAC, dan lebih mendorong pada langkah-langkah yang senafas dengan konsep sistem peradilan pidana terpadu.
Untuk itu, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kejaksaan (selanjutnya disingkat RUU Kejaksaan) harus bersinergi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Hukum Pidana (disingkat KUHAP), terutama dalam hal proses penyidikan. Namun, mengingat pengaturan proses penyidikan dalam KUHAP masih sering menyita waktu yang lama dalam hubungannya Jaksa, maka berakibat pada ketidak efisiennya waktu.
Karena itu, dalam pembaharuan Hukum Acara Pidana harus ada solusinya, misalnya saat proses penyidikan di tingkat kepolisian dilaksanakan, maka jaksa harus hadir untuk memberikan petunjuk kepada penyidik, sehingga pada saat proses penyidikan selesai dilakukan, berkas pemeriksaan sudah ditandatangani oleh penyidik dan jaksa. Hal itu untuk menghindari atau memangkas bolak-baliknya perkas perkara. Langkah tersebut bisa disebut sebagai penyidikan bersama, dan sejalan dengan Putusan MK Nomor: 130/PUU-XIII/2015.