TSM dan PSU: Makna dan Langkah Hukum
Oleh: Iwan Haryanto, S.H., M.H
Drama Pilkada Sumbawa sepertinya belum usai. Di mana sebelumnya pada 11 Januari 2021 kemaren di keluarkan keputusan Bawaslu provinsi terhadap laporan yang diajukan oleh pasangan calon (paslon) Syarafuddin Jarot dan Ir. Muhlis terhadap dugaan pelanggaran administrasi terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang dilakukan oleh paslon haji Mahmud Abdullah dan Dewi Noviany atau dikenal dengan Mo-Novi.
Keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga pengawas pemilu itu tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh paslon yang mengusung sumbawa gemilang dan berkeadaban itu.
Berbagai pihak banyak berspekulasi bahwa masalah ini akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Bawaslu RI. Dengan diajukan kepada dua lembaga hukum itu maka akan memberikan rasa keadilan, baik berupa pemungutan suara ulang (PSU) maupun diskualifikasi. Namun kedua keputusan itu memiliki obyek perkara serta lembaga yang berbeda penanganannya. Sehingga proses dan mekanisme pun agak berbeda.
Diskualifikasi merupakan pemberian sanksi pembatalan terhadap pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi. Di dalam Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Tatacara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilukada Yang Terjadi Secara Terstruktur, Sistematis, Dan Masif (TSM), Pasal 4 bahwa Objek penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM merupakan perbuatan calon berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggaraan Pemilihan dan/atau Pemilih yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Terstruktur merupakan kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Sedangkan pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Begitu pun masif, dimana dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian. Ini artinya bahwa objek perkara yang diskualifikasi yakni perbuatan curang yang berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggaraan Pemilihan dan/atau Pemilih yang terjadi secara TSM.
Begitupun dengan penanganan diskualifikasi tentu lembaga yang memiliki kapasitas dan kewenangan sebagai mana di suguhkan dalam Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 3, yang menyatakan bahwa Bawaslu Provinsi berwenang melakukan penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM.
Ini berarti bahwa Bawaslu merupakan lembaga yang menangani dan memeriksa pelanggaran administrasi terstruktur, sistematis, dan masif. Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul bahwa yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi TSM adalah Bawaslu karena lembaga tersebut telah memiliki kewenangan yang diatur dalam perbawaslu (kompas.com). Kewenangan ini akan digunakan untuk menangani paslon yang diduga telah melakukan pelanggaran administrasi TSM. Jika terbukti maka Paslon tersebut akan diskualifikasikan.
Langkah penanganan diskualifikasi dilakukan Bawaslu, di dalam Pasal 12 Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020, tentu penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM, Bawaslu Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus laporan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM paling lama 14 (empat belas) Hari.
Jika keputusan Bawaslu provinsi tidak bisa di terima maka berhak melakukan upaya hukum melalui keberatan yang dilakukan oleh pelapor hal ini diungkapakan dalam pasal 52 yang menyatakan pelapor dapat menyampaikan keberatan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak Keputusan Bawaslu provinsi di bacakan.
Keberatan di sertai: salinan putusan Bawaslu Provinsi; surat kuasa khusus, jika pelapor didampingi atau diwakili oleh kuasa; dan memori keberatan. Ini membuktikan bahwa Bawaslu provinsi merupakan keputusan belum tetap dan final sehingga dapat dilakukan upaya hukum melalui Keberatan yang dilayangkan di Bawaslu RI.