Oleh: Agus Wahid
Pertemuan Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsudin dengan oknum penyidik KPK AKP Stepanus yang diduga dalam rangka mencari solusi “damai” Wali Kota Tanjungbalai merupakan tindakan tak lazim dilakukan oleh pejabat negara dan aparat penegak hukum.
Padahal, larangan keras pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk penyidiknya dengan pihak yang sedang dibidik. Setidaknya, melanggar prinsip moral ketika pejabat dan atau penyidik KPK berkenan menerima ajakan pertemuan dengan calon tersangka.
Sebab, larangan tersebut disadari oleh pejabat negara seperti komponen DPR RI yang sama-sama sedang menghadapi kemungkinan proses penyangkaan secara hukum dari KPK. Karena itu, sebuah pukulan telak bagi lembaga legislatif dan penegak hukum sebagaimana pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri yang mengungkap adanya dugaan pertemuan Aziz Syamsudin dengan oknum penyidik KPK (AKP Stepanus) dalam rangka mencari solusi “damai” Wali Kota Tanjungbalai (M. Syahrial).
Pertemuan ini seperti yang tersiar di berbagai media massa tentunya menjadi malapetaka bagi penyidik karena pertemuan itu menghasilkan buah suap senilai Rp 1,3 miliar dari nilai Rp1,5 miliar yang dijanjikan. Malapetaka juga akhirnya menimpa Syahrial dan Aziz Syamsuddin selaku fasilitator, yang juga tak lepas dari kompensasi imbalan sejumlah uang.
Menjadi tanda tanya besar, apa urgensi Aziz Syamsuddin dan Stapanus secara proaktif mengambil prakarsa pertemuan kompensasional itu? Padahal, padahal selaku pejabat negara dan petugas anti rasuwah sangat menyadari larangan pertemuan, apalagi bernuansa mencegah terjadinya penindakan hukum bagi pelaku kejahatan korupsi. Oleh karenanya, persekonglokan hukum ini jelas-jelas mencederai kinerja KPK, juga mendegradasikan pamor lembaga legislatif (DPR RI).
Dengan asumsi pemahaman tentang larangan itu, maka timbul pertanyaan, apakah Aziz Syamsudin nekad untuk bermain mata dengan penyidik KPK itu? Kecil kemungkinannya. Karena itu, hal ini menimbulkan tanda tanya lebih lanjut, adakah sosok tertentu yang menjalankan peran “makelar kasus” (markus).
Bukan tak mungkin kehadiran markus itu kemungkinan itu didasarkan pada irama kerja KPK itu sendiri, yang secara manajemen internal memang memberi kesempatan terbuka kepada publik untuk ambil bagian pada penyajian data di lapangan. Bagi KPK, laporan masyarakat tentang kejahatan korupsi bukan hanya dipersilakan, tapi diharapkan. Tapi, kebijakan ini dalam kontek kebersamaan mencari informasi sejalan dengan SDM KPK terbatas.