Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) merupakan salah satu kendala yang sering dihadapi dalam kegiatan budidaya tanaman.
Jika tidak dikendalikan secara tepat, maka serangan OPT baik berupa hama atau penyakit dapat merusak tanaman hingga mengakibatkan kerugian secara ekonomi.
Upaya pengendalian OPT yang ditempuh oleh petani atau masyarakat umumnya adalah dengan menggunakan pestisida kimia atau sintetik.
Selain bahan mudah diperoleh, pestisida kimia juga mudah untuk diaplikasikan dan efektivitasnya bisa dilihat dalam waktu yang relatif cepat.
Penggunaan pestisida kimia oleh petani umumnya dilakukan secara berlebihan dan terus-menerus guna mendapatkan hasil pengendalian yang maksimal dan mempertahankan hasil panen. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan ekosistem, pencemaran lingkungan, berisiko terhadap kesehatan manusia, dan adanya residu pada produk pertanian yang dihasilkan.
Untuk mengurangi dampak negatif tersebut maka penggunaan pestisida kimia dalam praktik budidaya tanaman harus dikurangi.
Pengurangan aplikasi pestisida kimia dalam pengendalian OPT dapat dilakukan dengan cara menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Penerapan PHT ditempuh dengan mengintegrasikan beberapa cara pengendalian yang ramah lingkungan, dan menjadikan pestisida kimia sebagai alternatif terakhir dalam upaya pengendalian OPT. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia tentang Indonesian Good Agricultural Practices (IndoGAP) – cara budidaya tanaman pangan yang baik (SNI 8969:2021), khususnya pada bagian pelindungan dan pemeliharaan tanaman.
Alternatif lain dari pestisida kimia adalah pestisida nabati yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan. Pestisida nabati bersifat ramah lingkungan karena menggunakan bahan alami. Sejumlah tanaman telah dilaporkan mengandung senyawa bioaktif yang dapat mempengaruhi perkembangan OPT.
Contoh tanaman yang telah banyak dikaji potensinya untuk mengendalikan OPT adalah mimba (Azadirachta indica A. Juss.).
Tanaman mimba sudah dikenal sejak lama sebagai obat tradisional untuk membantu mengobati penyakit manusia. Mimba merupakan tanaman asli dari Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, mimba banyak ditemukan di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, dikenal dengan beberapa nama daerah seperti imba/mimba (Jawa), intaran/mimba (Bali), membha/mempheuh (Madura).
Menurut penelitian, selain dimanfaatkan sebagai zat antibakteri dan antifungi, mimba juga dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida. Hal ini dikarenakan tanaman mimba mengandung senyawa kimia seperti alkaloid, flavonoid, saponin, dan glikosida yang menimbulkan efek biologis seperti anti-inflamasi, anti-alergi, antioksidan, anti-diabetes, anti-virus, dan anti-kanker, kemudian senyawa azadirachtin, salanin, meliantriol, dan nimbin yang berfungsi sebagai pestisida.
Ekstrak mimba dilaporkan dapat mempengaruhi sekitar 400 jenis serangga. Semua bagian dari tanaman mimba dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati, akan tetapi bagian biji dilaporkan lebih banyak mengandung bahan aktif insektisida jika dibandingkan bagian daun.
Senyawa bioaktif pada tanaman mimba yang berfungsi sebagai pestisida, masing-masing memiliki peran yang berbeda. Azadirachtin berperan untuk menghambat kerja hormon ecdyson yang berfungsi dalam proses metamorfosis serangga.
Proses metamorfosis seperti proses perubahan dari telur menjadi larva, atau larva menjadi kepompong, atau kepompong menjadi serangga dewasa akan terganggu. Kegagalan dalam proses metamorfosis ini sering mengakibatkan kematian serangga.
Salanin berperan untuk mengurangi nafsu makan serangga hama. Hal ini dapat menyebabkan serangga menjadi lemah dan daya rusak serangga terhadap tanaman menjadi menurun. Dengan demikian, aplikasi ekstrak mimba tidak menyebabkan kematian serangga secara seketika, namun memerlukan waktu beberapa hari untuk menyebabkan kematian.
Meliantriol memiliki peran sebagai penghalau serangga hama. Hal ini menyebabkan tanaman yang telah disemprot ekstrak mimba tidak didekati oleh serangga hama sehingga tanaman selamat dari kerusakan. Senyawa nimbin berperan sebagai antimikroba, seperti anti-fungi, anti-bakteri, dan anti-virus. Oleh karena itu, ekstrak mimba juga dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman.
Pestisida nabati dari tanaman mimba dapat dibuat oleh kelompok tani atau perorangan dengan teknologi sederhana. Pembuatan ekstrak mimba yang mudah dilakukan adalah dengan menggunakan bagian daun, baik daun segar ataupun daun yang sudah dikeringanginkan.
Komposisi atau jumlah bahan yang digunakan pada beberapa penelitian tidak selalu sama, akan tetapi tahapan pembuatannya secara umum adalah sebagai berikut:
Daun mimba (segar/kering) dipotong atau dirajang hingga berukuran kecil, selanjutnya ditambahkan air dan dihaluskan dengan menggunakan blender, kemudian diaduk rata dan didiamkan selama 12 jam/sepanjang malam.
Keesokan harinya, air rendaman disaring dengan menggunakan kain.
Larutan ekstrak daun mimba yang akan diaplikasikan ke tanaman, sebelumnya ditambahkan sedikit deterjen atau sabun cair sebagai perekat.
Setelah tercampur rata, larutan dapat diaplikasikan ke tanaman.
Cara penggunaan pestisida ekstrak mimba dapat dilakukan dengan menyemprotkan larutan pestisida ke tanaman atau bagian tanaman yang terserang hama. Penyemprotan hendaknya dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari penguapan berlebih dan perlu dilakukan secara berkala untuk mendapatkan hasil yang efektif.
Penelitian tentang pemanfaatan ekstrak mimba untuk menekan perkembangan hama tanaman telah banyak dilaporkan, baik pada skala laboratorium maupun lapangan. Aplikasi ekstrak daun mimba pada skala laboratorium dapat menyebabkan mortalitas atau kematian 100% terhadap hama kutu kebul (Bemisia tabaci) dan 78% pada wereng batang coklat (Nilaparvata lugens).
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mimba menyebabkan semakin tingginya tingkat mortalitas larva lalat buah (Bactrocera dorsalis L.) dan semakin tingginya tingkat penurunan aktivitas bertelur pada kumbang kacang hijau (Callosobruchus chinensis L.).
Selain itu, aplikasi ekstrak daun mimba terhadap belalang kembara menyebabkan penurunan aktivitas makan sebesar 80%. Aplikasi ekstrak daun mimba di tingkat lapangan berhasil menekan populasi kutu daun (Aphid) dan kutu kebul sekitar 40-55% pada pertanaman cabai umur 56 hari setelah tanam (hst).
Selain dapat mempengaruhi populasi serangga hama, ekstrak daun mimba juga dapat menghambat pertumbuhan patogen tumbuhan. Aplikasi ekstrak daun mimba dilaporkan dapat menghambat koloni jamur patogen penyebab penyakit bercak ungu pada tanaman bawang (Alternaria porri) dengan persentase penghambatan sebesar 43%.
Selain itu, ekstrak daun mimba dapat memperlambat masa inkubasi dan menurunkan intensitas penyakit antraknosa pada buah cabai yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici.
Dalam aplikasinya, pestisida ekstrak mimba memiliki keunggulan dan kelemahan. Beberapa keunggulan pestisida ekstrak mimba yaitu memiliki daya kerja selektif sehingga tidak mengakibatkan kematian terhadap serangga non target, tidak menyebabkan kekebalan serangga, ramah lingkungan, cepat terurai sehingga kadar residu relatif kecil, bahan mudah diperoleh, dan pestisida mudah dibuat.
Sementara kelemahan pestisida ekstrak mimba di antaranya adalah persistensi cukup singkat atau memiliki masa simpan yang pendek sehingga kadang kurang menguntungkan secara ekonomi, perlu diaplikasikan secara berulang untuk mendapatkan keefektifan pengendalian yang maksimal, dan hasil pengendalian tidak dapat segera dilihat karena daya kerja relatif lambat.
Dengan senyawa bioaktif yang terkandung pada tanaman mimba, petani dapat memanfaatkannya sebagai pestisida nabati untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida kimia. Informasi terkait manfaat ekstrak mimba untuk pengendalian hama tanaman perlu disebarluaskan kepada masyarakat karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk upaya dalam penerapan PHT yang mendukung sistem pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Penulis merupakan Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Ahli Pertama
Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Nusa Tenggara Barat (BPSIP NTB).(Herman)