tambahnya, Kerentanan ini merupakan implikasi dari lemahnya upaya-upaya pemerintah dalam memastikan perlindungan buruh migran baik melalui kebijakan maupun praktik-praktik tata kelola pelayanan migrasi. Selain itu, Kebijakan ini mendiskriminasi perempuan, salah satunya ditunjukkan pada pasal 13 yang mengatur perempuan bekerja diranah domestic dan membatasi ruang gerak perempuan sebagai penatalaksana rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh anak balita dan perawat orang lanjut usia.
“PERDA ini sudah tidak relevan dengan UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) karena dari segi substansi tidak bisa memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap pekerja migran asal Sumbawa khususnya,”pangkasnya.
Sambungnya, Dari 81 pasal pada Perda tersebut hanya terdapat 8 pasal yang mengatur tekait perlindungan dan selebihnya hanya berbicara pada aspek penempatan dan pelayanan. Dimana Perda mengacu pada UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri yang faktanya telah dicabut dan telah disahkannya UU PPMI No. 18 tahun 2017 yang masih berlaku sampai saat ini. Dari segi judul PERDA ini berbeda dengan payung hukum yang berlaku saat ini, hal ini mempengaruhi isi keseluruhan dari PERDA.
“Selain itu tidak sesuai dengan fakta dilapangan, pola keberangkatan perempuan buruh migran dilakukan oleh calo/sponsor dengan memberikan iming-iming gaji yang besar, adanya uang Fee yang menjadi sumber jerat hutang bagi calon PBM, modus keberangkatan melalui calling visa, paspor umroh, paspor pelancong, menjadi PMI di Timur Tengah sebagai PRT, pemalsuan dokumen seperti ijin dan pemberitahuan ke Kepala Desa setempat mayoritas tidak dilakukan dan suratnya di palsukan,”bebernya.
Masih menurutnya, Pemerintah Desa sebagai stakeholder yang memiliki peran penting perlindungan PBM seringkali tidak terinformasi dan tidak memiliki data pekerja migran di Desa. Hal tersebut menjadi tantangan besar ketika proses advokasi yang dilakukan menjadi terhambat dan mengalami kendala.
Kebijakan ini belum didasarkan pada paradigma berpikir yang menyentuh akar persoalan dan tanpa melakukan analisis dampak yang berbeda terhadap perempuan.
“Padahal Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 tentang Hak-Hak Perempuan Buruh Migran menjamin pelindungan hak-hak asasi manusia bagi perempuan buruh migran dan mewajibkan Negara untuk menggunakan CEDAW.
Termasuk rekomendasi umum untuk merumuskan kebijakan yang sensitif gender berbasis hak atas dasar kesetaraan dan non-diskriminasi untuk mengatur dan mengelola semua aspek dan tahapan migrasi.
Negara berkewajiban untuk melakukan identifikasi masalah dan kebutuhan yang dihadapi oleh perempuan buruh migran di setiap tahapan proses migrasi,”paparnya
Ermi berharap Sehingga kedepan perlu adanya kebijakan Perlindungan untuk Pekerja Migran yang mengakomodir perlindungan perempuan,”harapnya.
Seperti diketahui pada kegiatan tersebut juga hadir dari bagian hukum, DPRD Sumbawa, dan perwakilan Disnakertran Sumbawa.(Herman)