KOTA BEKASI, Harnasnews.com – Persaingan perebutan kursi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Kota Bekasi, Jawa Barat, mulai mengemuka. Hal itu menyusul dengan berakhirnya masa kepemimpinan Rahmat Effendi menjadi orang nomor satu di partai berlambang pohon beringin di bumi patriot tersebut.
Namun sayangnya di tengah suksesi kepemimpinan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi itu dicederai dengan tindakan kurang sportif yang dinilai merusak proses demokrasi dalam perebutan kursi bergensi tingkat lokal itu.
Seperti diketahui, Musda partai Golkar V Kota Bekasi yang sebelumnya mengangkat tema “Merebut Kepemimpinan Di Era Milenial” yang sedianya dihelat pada 5 Agustus 2020 ditunda, lantaran ada dugaan intervensi dari salah satu calon kandidat ketua DPD.
Sebelumnya, muncul empat nama kandidat setelah pengembalian formulir pendaftaran bakal calon Ketua DPD Golkar Kota Bekasi periode 2020-2025. Di antara nama itu yakni Nofel Saleh Hilabi, TB. Hendra Suherman, Ade Puspitasari dan H. Zainul Miftah.
Menanggapi dinamika internal partai jelang Musda Partai Golkar Kota Bekasi, direktur eksekutif Institute Kebijakan Publik Katulistiwa (IKPK), Agus Wahid mengungkapkan, bahwa rotasi pergantian kepemimpinan dilakukan perlima tahun menjadi keniscayaan di sebuah organisasi.
Karena itu merupakan aturan main yang tertera dalam anggaran dasar (AD) dan rumah tangga (RT) untuk setiap organisasi, dalam lingkup politik atau lainnya. Arahnya untuk mempertahankan roda organisasi, bahkan lebih dari itu agar organisasi yang dipimpinnya tetap eksis.
Agus mengungkapkan, meski AD/ART membenarkan periode kadua bagi incumbent, tapi mekanismenya tetap melalui proses pemilihan yang sah menurut ketentuan AD/ART itu. Agar legitimasinya menumbuhkan loyalitas dari seluruh pengurusnya.
Dan hal ini sungguh krusial, karena tuntutan fungsional mengharuskan kinerja terbaik dalam kepemimpinan selanjutnya. Itulah pertanggugjawaban yang harus dipertaruhkan bagi sang pemimpin.
“Oleh karenanya, Dewan Pengurus Daerah Golkar Kota Bekasi harus menyelenggarakan musyawarah daerah (Musda), untuk menentukan potret pemimpin baru atau pelanjutnya. Tentunya dalam skema tuntutan futuristik yang tetap eksis di tengah Kota Bekasi ini, bahkan lebih dari itu,” ujar Agus kepada Harian Nasional News di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Namun demikian, lanjut Agus, dalam mendapatkan posisi tersebut tentunya harus didasari dengan kapabilitas, capaian kinerja politik jauh sebelumnya dan prasyarat lainnya yang integrated dengan keberadaan sang kandidat.
Bukan malah sebaliknya, sebagaimana yang terjadi dalam kontestasi pemilihan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi. Ada cara pandang yang mendorong kandidat kadang terjebak pada permainan politik tricky.
“Seperti yang kita baca pada kasus pembatalan musda DPD Golkar Kota Bekasi baru-baru ini, ternyata ada rekayasa pemalsuan tanda tangan yang diduga dilakukan oleh salah satu bakal calon Ketua DPD Golkar. Selain itu sempat mengemuka adanya dugaan ijazah palsu yang diduga milik salah satu kandidat. Kalau demikian terjadi, ini merupakan preseden buruk bagi Partai Golkar. Sebagai partai pelopor kepemimpinan terbuka, DPP Partai Golkar harus segera bersikap,” tegas Agus.
Selain itu, cara lain tidak elok yang dilakukan oleh salah satu kandidat bakal calon Ketua DPD Golkar adalah “menggoreng” isu penjualan Gedung DPD Golkar di era kepemimpinan Rahmat Effendi (Pepen). Padahal, jauh sebelumnya persoalan Gedung Golkar Kota Bekasi sudah terjadi saat pemekaran Bekasi menjadi Kota dan Kabupaten.
“Perlu kita catat, rekayasa pembatalan musda dalam perspektif moral menggambarkan tindakan moral hazard. Arah dari pembatalan itu terlihat jelas pada upaya terencana dan sistimatis terhadap kandidat potensial yang siap memasuki kontestasi musda Golkar di Kota Bekasi ini,” katanya.
Di sisi lain, isu penjualan gedung DPD Golkar Bekasi juga arahnya jelas mendegradasikan citra Pepen dalam perpolitikan Golkar di tengah Bekasi. Dan isu itu muncul karena, dalam musda Golkar Kota Bekasi, akan hadir salah satu puterinya sebagai salah satu kontestannya. Upaya “smoth criminalize”. Hal itu tak lepas dari skenario mendegradasian kandidat puteri Pepen itu.
“Memang, panggung politik sarat dan terbiasa dengan tindakan moral hazard. Dan politik juga sudah lekat dengan citra kotor. Penuh intrik. Meski demikian, politik dalam persektif keilmuan merupakan domain mulia. Karena itu jangan dikotori praktik tricky,” ucapnya.
Agus menilai, organisasi Partai Golkar, sebuah organisasi politik yang demikian lama di negeri ini harus mampu memberikan keteladanan yang baik.
Kini saatnya, kontestasi pemilihan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi diwarnai dengan proses yang mengedepankan nilai-nilai terpuji, konstruktif. Rivalitasnya perlu dilandaskan pada prinsip kapasitas dan kapabilitas, bahkan integritas yang sudah teruji.
Menurutnya, memasuki kontestasi dalam arena musda, sudah muncul sejumlah nama kandidat, di antaranya Ade Puspitasari, yang kebetulan salah satu puteri Wali Kota Bekasi saat ini. Keberadaan Ade demikian panggilan akrabnya menjadi sorotan minus, terutama bagi barisan rivalis.