JAKARTA, Harnasnews.com – Tak pernah lepas dari kekuasaan politik formal. Itulah keberadaan Golkar di tengah Kota Bekasi. Meski PDIP pernah menjabat Wali Kota, tapi Golkar tetap berada di posisi pemerintahan, sekalipun saat itu sebagai wakil Wali Kota, selanjutnya bertahan sebagai Wali Kota. Di sisi lain, di lembaga parlemen (DPRD Kota Bekasi), pun kursi Golkar tetap unggul, setidaknya dalam dua besar, di samping Partai Banteng merah itu.
Pengamat kebijakan politik strategis, Agus Wahid menilai politik Golkar di tengah Kota Bekasi relatif menggambarkan kinerja partai berlambang Pohon Beringin itu terketagori solid dan bertahan dalam beberapa periode.
“Yang perlu kita catat, kinerjanya tidak hanya sebatas wilayah Kota Bekasi dalam kaitan pimpinan pemerintahan daerah dan parlemen tingkat Kotamadya, tapi suara Golkar tak pernah mengabsenkan kadernya di tengah parlemen wilayah (Jawa Barat) dan Pusat (DPR RI),” kata Agus kepada HNN, Selasa (13/4/2021)
Dia juga menilai, reputasi yang dipersembahkan Golkar Kota Bekasi menunjukkan kinerja lokal, regional dan nasional. Inilah data faktual Golkar Kota Bekasi. Reputasi ini jika dibuka data di lapangan karena peran strategis tokoh Golkar seperti Rahmat Efendi dan sesepuh Partai Golkar seperti Abdul Manan.
Kedua tokoh ini kata dia, tak bisa dipungkiri merupakan icon Golkar di tengah Kota Bekasi saat ini. Karena itu tidaklah berlebihan jika peran kedua icon ini harus dipelihara oleh DPP, bukan dikerdilkan kiprah politiknya, apalagi dikerangkeng lajunya.
Sebuah renungan, apakah reputasi itu akan bertahan, atau justru akan terjadi proses decline (merosot)? Jawabannya sindikatif. Reputasi itu sangat tergantung kinerja kepemimpinan daerah, juga kebijakan DPD Tingakt I Jawa Barat dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
“Jika DPP keliru memandang data faktual reputasi Golkar Kota Bekasi itu, maka sangat mungkin terjadi pergeseran tajam. Bukan tak mungkin, akan terjatuh pada titik nadlir,” kata direktur eksekutif AW Center ini.
Meski berpotensi masih ada kursi di DPRD Kota Bekasi katakanlah dua kursi, capaian ini jelaslah menunjukkan capaian jauh di bawah ekpektasi. Semakin jatuh lagi pamor Golkar jika dalam kontestasi pilkada mendatang ternyata Golkar “keok” dari kandidat partai lain. Publik pasti menilai, Golkar Kota Bekasi hancur.
Mungkinkah itu terjadi? Jawabnya, mengapa tidak. Jawaban ini tak lepas dari kebertahanan konflik internal Partai Pohon Beringin itu. Di satu sisi, konfliktualitas itu berangkat dari problem rivalitas untuk menggapai kepempinan DPD Golkar. Konflik ini “digoreng” sedemikian vulgar, tanpa mengindahkan fatsoen politik.
Bahkan, tanpa memandang lebih jauh kepentingan Golkar ke depan. Baginya, upaya memperkeruh kondisi internal Golkar semata-mata merupakan sahwat politik personal, yang arah ke depannya dapat dibaca dengan jelas, mimpi menuju Wali Kota, minimal Wakil Wali Kota.