Oleh: Agus Wahid
Magnetik. Itulah Anies Baswedan dalam panggung politik nasional. Daya magnetnya terlihat jelas pada setiap momen. Di mana Anies berada, di ruang tertutup apalagi terbuka, dalam acara apapun, publik selalu membanjiri. Lembaba-lembaga survei murni (bukan pesanan) pun berusaha mengkonfirmasi daya magnet itu melalui metodologinya. Hasilnya selalu menempatkan posisi Anies di urutan teratas.
Perhatian publik tak lepas dari jatidiri Anies (sang Gubernur DKI Jakarta) yang mengukir banyak prestasi, berkapasitas nasional bahkan internasional. Dan satu hal yang sangat distinktif dari diri Anies. Kematangan mentalnya dalam berdemokrasi dan inner beauty (akhlaqul karimah) yang memancar selalu pada senyum tulusnya terhadap siapapun, penuh kesehahabatan dan kemanusiaan, termasuk kepada kalangan kontrarian. No hate.
Realitas itu tak dapat disangkal bisa dijadikan modalitas politik yang sangat esensial. Dan negeri ini yang sedang dilanda krisis multidimensional, termasuk krisis kepercayaan publik. Oleh karenanya sangat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki sejumlah keunggulan komparatif-kompetitif itu.
Publik yakin, Anies akan mampu menyelesaikan sejumlah persoalan mendasar kehidupan berbangsa dan bernegara, yang kini terancam masa depannya. Berpijak pada prinsip dan komitmen keadilan untuk semua, di wilayah hukum, ekonomi social dan politik. Landasannya pun jelas: menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, bukan kepada “yang bayar”.
Komitmen dan landasan idealistiknya bukan sekedar retorika tanpa fakta nyata. Setidaknya, selama memimpin Jakarta, menjadi idealitas itu dapat dilihat dan dirasakan, terutama masyarakat Jakarta dan seluruh elemen masyarakat yang berkegiatan di tengah ibukota negara tercinta ini. Fakta yang sulit dibantah. Inilah sejumlah fakta yang mendorong publik berharap dan berjuang untuk Anies berkenan memasuki kontestasi kepresidenan.
Sebuah pertanyaan integral, bagaimana sikap partai politik (parpol)? Seperti kita ketahui, Anies bukanlah partisan parpol. Sementara, persyaratan maju sebagai calon presiden (capres) sesuai Pasal 6A Ayat 2, harus diusung parpol atau gabungan parpol. Apakah hal ini akan menjadi kendala krusial bagi Anies selaku capres? No. Reputasi yang telah terbangun selama menjabat Gubernur DKI Jakarta dan sejumlah keunggulan lain seperti kepasitas, kecerdasan aqliyyah dan rohani serta kualitas mental dan akhlak mulianya, semua itu menjadi pertimbangan utama para pemimpin parpol.
Jika ia tak memiliki kader yang kompetitif, maka Anies menjadi opsi politik sejumlah parpol. Dan data di lapangan menunjukkan, adanya sinyal kuat parpol seperti PKS, PPP, Partai Demokrat, NasDem dan belakangan PAN yang berusaha merapat ke Anies. Sosoknya bagai ”gadis” yang diperebutkan.
Sebuah catatan mendasar, apakah ketertarikan parpol-parpol itu karena panggilan “suci” yang ingin mengantarkan Anies sebagai solusi krisis bangsa dan negara? Prinsip idealistik itu bukanlah tak ada. Sebagai parpol yang bekerja untuk tatanan kenegaraan, maka idealisme menjadi pijakan. Namun, tak bisa dipungkiri, perangai parpol tak pernah lepas dari kepentingan sempit. Pragmatisme parpol yang tak jauh dari prinsip “how to get what” (bagaimana mendapatkan apa, yakni kekuasaan), inilah prinsip yang mendorong parpol bersikap realistis.
Dalam hal ini kita dapat membaca jelas pada aroma politik NasDem dan PPP. Dalam Pilpres 2019, kedua parpol ini berada pada kubu “Merah”. Dan pada pilpres Februari 2024, tampaknya berubah menjadi lawan politik “Merah”. Opsi politik ini tak kenal malu atau sungkan. Dan memang, dalam politik tak kenal kawan abadi. Yang abadi kepentingan. Pertimbangan parpol murni prospek kemenangan kontestasi pilpres. Dengan berada pada kandidat prosepektif (menang), maka prinsip “to get what” akan terwujud. Mereka akan tetap berada dalam jajaran kekuasaan.
Murni pertimbangan kekuasaan? Tentu, lebih dari itu. Bagi parpol-parpol pengusung Anies akan adan korelasi positifnya. Saat ini terutama PPP dan PAN dihadapkan dilema menjauh atau berseberangan dengan Anies, partainya sangat dipertanyakan untuk masuk ke parlemen (DPR RI). Tidak tertutup kemungkinan, kedua parpol ini tak akan lolos parlementary threshold (ambang batas parlemen) 4%. Dengan masa depan suram ini, maka kedua parpol ini, hanya satu opsi untuk menyelamatkan partainya. Berarti, harus bersama Anies.
Dengan analisis ini pula PKB dipertanyakan perolehan suaranya, meski ia punya basis massa primordial. Hal ini sejalan dengan kecendurungan PKB yang berusaha ambil jarak dan menjadi lawan politik Anies. Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB lebih enjoy untuk ”bermesraan” dengan partai Marah, bahkan Gerindra, meski dalam pilres 2019 berseberangan.
Bagaimana dengan parpol-parpol nonseat bahkan parpol-parpol baru? Jika mereka cerdas, tak ada opsi lain perlu merapat ke Anies. Pertimbangannya adalah efek domino yang positif. Publik akan melihat parpol-parpol nonseat dan parpol-parpol baru ketika dalam kontestasi pilpres terlihat berjuangan bersama Anies. Ada imbas positif tanpa harus keluarkan biaya lebih besar Sungguh terpuji jika keterpanggilannya bersama Anies karena dominasi anasir idealistiknya.