JAKARTA, Harnasnews – Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menilai pengaturan terkait devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) tidak cukup sekadar dicatatkan dan penggunaannya diawasi untuk kebutuhan transaksi perdagangan internasional.
Apalagi, Bank Indonesia (BI) tidak mengategorikan hal tersebut sebagai dana pihak ketiga (DPK) yang menjadi acuan penghitung kewajiban bank dalam memenuhi giro wajib minimum (GWM).
“Jika pengaturannya hanya seperti ini, ekonomi dalam negeri tidak mendapatkan manfaat optimal atas penempatan DHE di perbankan nasional, selain penerimaan perpajakan atas bunga DHE di rekening khusus,” ujar Said dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Oleh karenanya, ia menyarankan BI untuk tidak meletakkan DHE SDA sebagai “lahan parkir” istimewa yang tidak memberi manfaat banyak bagi keuangan domestik.
Agar punya manfaat finansial dan tanggung jawab perbankan lebih mengikat, sebaiknya DHE SDA yang berada di rekening khusus dihitung sebagai acuan untuk menilai GWM dan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dari bank penerima.
Selain itu, pembayaran yang diterima eksportir dalam bentuk DHE seharusnya dicatatkan sebagai pendapatan usaha oleh perusahaan eksportir. Meski tidak semua, setidaknya ada peluang besar bagi pemerintah dan BI untuk mendorong DHE SDA menjadi alternatif sumber investasi dalam negeri, terutama terhadap sektor-sektor prioritas yang menjadi perhatian pemerintah.
Jika pemerintah bisa memberikan penawaran menarik, khususnya peluang-peluang investasi baru yang menjanjikan dan imbal hasil menarik, Said mengatakan pemilik DHE SDA seharusnya tertarik untuk terlibat dalam penawaran tersebut.