JAKARTA, Harnasnews – Peneliti lembaga Charta Politika Ardha Ranadireksa menilai gelombang kritik dari kampus itu pasti memiliki dampak pada pencalonan pasangan Prabowo Subianto -Gibran Rakabuming Raka.
Ia memprediksi kemungkinan elektabilitas pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menurun.
“Apakah berdampak pada 02? Kalau kita lihat ada dampak penurunan elektabilitas, mungkin enggak terlalu berdampak terlalu besar, mungkin ada penurunan mungkin 2-3 persen,” kata Ardha
Melansir laman cnn, Ardha melihat elektabilitas Prabowo-Gibran dari pelbagai hasil survei menunjukkan angka yang cukup tinggi ketimbang dua pesaingnya.
Terlebih, ia melihat rata-rata selisih antara pasangan Prabowo-Gibran dengan Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud rata-rata berkisar di angka 10 persen.
“Jadi apakah misal dengan seruan ini 02 akan drop? Saya pikir enggak. Tapi mungkin ada penurunan mungin ada tapi enggak signifikan,” kata dia.
Sebelumnya, akademisi dari puluhan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta ramai-ramai mengeluarkan pernyataan sikap mengkritik demokrasi di era Jokowi yang mengalami kemunduran serta menuntut Pemilu 2024 yang jujur dan adil.
Gerakan ini bermula dari petisi yang disampaikan oleh para guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada akhir Januari, lalu meluas ke kampus-kampus seluruh Indonesia.
Civitas academica kampus ini secara umum mengingatkan agar Jokowi bertindak sesuai koridor demokrasi dalam menghadapi Pemilu 2024.
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan kegelisahan para dosen dan guru besar itu mulai memuncak ketika MK meloloskan uji materi syarat usia cawapres yang meloloskan putera Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, hingga pernyataan Jokowi yang memperbolehkan memihak di Pilpres.
“Ini adalah fenomena kegelisahan kaum intelektual, kaum cendikiawan terhadap dinamika politik yang problemnya memuncak. Cendikiawan awalnya masih yang melakukan kritik terhadap kekuasaan, lalu para akademisi melihat kok tidak memberi efek,” kata Ubed Selasa (6/2/2024).
“Dan itu menggugah para profesor untuk bersikap atas peristiwa itu,” tambahnya.
Ubed mengatakan banyaknya problem bangsa telah menjadi kesadaran kolektif yang direspons para kaum cendikiawan.
Kesadaran kolektif ini, lanjutnya, ditransformasikan menjadi sebuah gerakan sosial para cendikiawan yang meluas di seluruh Indonesia. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai dari petisi, pernyataan sikap hingga kemungkinan melakukan aksi demonstrasi.
“Kalau kita pinjam teori social movement itu ada kesadaran kolektif. Gerakan itu dimulai dari sebuah tantangan atau problem yang ada. Saya lihat ini sebagai tanda-tanda sebuah gerakan sosial kaum intelektual,” kata dia..
“Kalau terus berkembang, dan elite kekuasaan tak berubah, ini jadi sebuah gerakan sosial besar yang basisnya kaum cendikiawan,” tambahnya.
Puncak perenungan kaum intelektual
Ubed meyakini gerakan dari kampus ini bukan gerakan partisan. Sebab, tak cuma satu atau dua kampus saja yang bersuara, melainkan gerakan ini juga sudah menyebar ke kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Sikap dari kampus-kampus ini merupakan seruan moral supaya pemimpin bangsa bisa bertindak sesuai koridor hukum, etika dan demokrasi. Ia juga mengatakan para dosen dan guru besar pasti memiliki argumentasi yang kokoh ketika mengkritik.
“Karena mereka terpelajar. Dulu orang-orang yang kritik Soeharto, Habibie, Megawati, SBY juga dianggap partisan. Selalu begitu framingnya. Karena mereka para pendukungnya mengabaikan hal yang rasional dalam kritik. Dan muncul narasi framing itu,” kata Ubed.
Ubed juga memandang gerakan kritis dari kampus ini tidak terlambat meski mendekati pemilu. Sebab, ia mengatakan mereka menemukan momentumnya saat ini. Ia memprediksi gerakan ini memiliki konsekuensi nantinya pada dinamika politik di Indonesia.
“Mereka kaum terpelajar dan mereka itu sering merenung. Mereka sekarang pada puncak perenungannya. Jadi ini momentumnya. Karena mereka juga khawatir dengan kemungkinan ke depan masa depan demokrasi Indonesia,” kata Ubed.