JAKARTA, Harnasnews – Meski upaya aparat penegak hukum dalam mempersempit ruang gerak kelompok gerakan radikal, namun ancaman kelompok yang memiliki faham atau aliran tertentu yang berusaha melakukan perubahan dan pembaharuan dengan menempuh cara-cara kekerasan ekstrem dinilai masih mengancam kehidupan masyarakat.
Terkait dengan maslaah tersebut, Ketua Parasanda Bumi Pertiwi (Prabu) Foundation, organisasi yang menaungi mantan aktivis Negara Islam Indonesia (NII), H.Asep Muhargono mengungkapkan, sebesar apapun dana yang digelontorkan untuk menangkal gerakan radikal di Indonesia dinilai tidak akan efektif jika pemangku kebijakan dalam permasalahan gerakan ekstrem itu tidak melibatkan komponen masyarakat.
“Sebenarnya kelompok ekstrem merupakan persoalan faham ideologi yang salah. Untuk meluruskannya, maka BNPT maupun Densus 88 melibatkan mantan aktivis dan pelaku sejarah yang pernah terlibat dalam faham tersebut. Sebab (mantan aktivis NII) pernah memiliki benang merah dalam gerakan tersebut, bukan hanya faham kulitnya saja, sebagaimana yang selama ini diungkapkan oleh kelompok yang mengaku-ngaku pernah menjadi anggota NII,” ujar Asep dalam keterangan tertulisnya kepada Mediakarya, Selasa (19/11/2024).
Menurut dia, kelompok gerakan radikal bukan hanya melakukan kekerasan itu antara lain menghalalkan segala cara di dalam mencapai tujuannya, termasuk melakukan tindakan pengeboman, penculikan, perampokan, dan tindakan kriminal lainnya, namun mereka juga memberikan doktrin yang membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
“Memasukan doktrin yang menyimpang itu menurut kami lebih berbahaya. Sedangkan aksi teror maupun tindakan kriminal lainnya itu hanya merupakan ekses dari pemahaman doktrin yang salah,” katanya.
Kelompok Radikal juga berusaha untuk mengganti tatanan nilai yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan ideologi yang dianutnya. Simbol perjuangan yang mereka usung ialah jihad untuk melawan kekafiran.
Radikal dan radikalisme, dua istilah yang akhir-akhir ini sering kali dikaitkan dengan aksi-aksi kekerasan yang dikonotasikan dengan kekerasan berbasis agama termasuk aksi terorisme.
Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. berarti akar, sumber, atau asal mula radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam.
Menurut Asep, biasanya pola kerja kelompok ini menyasar pada komunitas masyarakat yang merasa tertindas, kemudian masuk pada generasi muda yang tengah mencari jati diri sehingga sangat mudah dalam menerima doktrin dari kelompok masyarakat yang kerap membawa jargon perubahan.
Lebuh lanjut, Asep menjelaskan bahwa kelompok radikal ini biasanya menyusup kepada masyarakat yang merasa tertindas, kemudian menyasar pada generasi milenial yang tengah menuntut adanya ketidakadilan, baik dalam dalam konteks ekonomi dan politik.
“Sehingga kelompok itu masuk dan mempengaruhi faham-faham yang dinilai dapat menggugah semangatnya untuk membongkar adanya ketidakadilan di tengah masyarakat melalui doktrin keagamaan dan ayat-ayat jihad,” kata Asep.
Asep menilai pola dan mata rantai gerakan radikal ini masih tumbuh subur di tengah masyarakat. “Jika hal ini tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan akan tumbuh subur sel-sel regenerasi gerakan radikal baru yang dikhawatirkan dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” katanya.
Oleh karena itu, kata Asep, Prabu Foundation siap bersinergi dengan BNPT maupun Densus 88 dalam menangkal gerakan radikal tersebut.
“Terlebih apabila pemerintahan baru ini kondisi ekonomi dan politik belum relatif stabil, khawatir ada kelompok-kelompok yang memainkan isu politik dengan menggunakan cara-cara tak beradab. Kemudian kelompok ekstrem masuk dan memanfaatkan kondisi negara yang belum stabil tersebut,” pungkas Asep. (Aep)