
Oleh: Bagong Suyoto
“Guna mewujudkan Indonesia bersih, lingkungan bersih dan hijau membutuhkan good governance. Jika tidak, menciptakan pengelolaan sampah yang baik dan benar untuk mencapai Indonesia bersih hanya omong kosong, dan pasti sangat sulit.”
Pilah (disaggregation) sampah merupakan titik tolak dan inti dari kegiatan daur ulang sampah. Pilah sampah bagian utama dari kerja-kerja penyelesaian penanganan sampah di seluruh dunia, dan khususnya Indonesia. Tanpa pilah sampah maka akan menyulitkan penanganan sampah berikutnya.
Karena sampah terdiri dari berbagai macam jenis, misal sampah plastik terdiri dari 7 kelompok/karakteristik besar, tiap kelompok terbagi menjadi beberapa jenis yang lebih spesifik. Demikian juga sampah kertas, sampah beling/kaca, sampah logam, dll.
Jika sampah tidak dipilah dari sumber dan tempat penampungan sementara (TPS) mengakibatkan munculnya masalah baru. Sampah sulit diolah, dan ujungnya akan dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Pemindahan sampah dari sumber ke TPA merupakan proyek yang mudah dan menjanjikan, tapi akan menimbulkan implikasi yang rumit, bahkan terjadi resisten dan demontrasi.
Selama ini, pendekatan konvensional tersebut sudah ratusan tahun diimplementasikan, mungkin sejak zaman kolonial Belanda di Indonesia. Dulu, bidang Pekerjaan Umum memiliki peran sangat vital dalam penanganan sampah, yang dianggap hanya merupakan pekerjaan pisik dan mengabaikan aspek lain.
Namun belakangan, sejalan dengan perkembangan zaman dan massifnya pertumbuhan penduduk, pertumbuhan kota dengan infrastruktur modern, dll, maka penanganan sampah membutuhkan aspek lain, yakni aspek kebijakan/hukum, kelembagaan, anggaran, dan partisipasi masyarkat atau sosial budaya. Persoalan dan tantangan baru mulai datang.
Secara empiris implementasi konvesional; kumpul-angkut-buang, dan ujungnya TPA sebagai penanggung beban sangat berat masih dipegang erat-erat dengan berbagai alasan. Ini bagian sindrom NIMBY (Not In My backyard). Sementara itu, data yang dirilis Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup DR. Hanif Faisol Nurofiq, Indonesia masih dikepung 343 unit TPA open dumping. TPA open dumping tersebut akan ditutup secara bertahap dan total.
Situasi pengelolaan sampah secara nasional. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN 2024) menyebutkan, hasil pelaporan data oleh 308 kabupaten/kota se-Indonesia; timbulan sampahnya sekitar 33.515.050,23 ton per tahun. Pengurangan sampah sekitar 13,19% atau 4.422.274,80 ton per tahun. Penanganan sampah sekitar 46,67% atau 15.640.733,28 ton per tahun. Sampah terkelola sekitar 59,86 persen atau 20.063.008,08 ton per tahun. Sedang sampah tidak terkelola sekitar 40,14% atau 13.452.042,15 ton per tahun.
KLH/PBLH menyatakan, bahwa tahun 2026 tidak ada lagi TPA open dumping di Indonesia. Hal ini disampaikan Menteri LH/Kepala BPLH kepada Komisi XII DPR RI di Jakarta (Kamis, 27/2/2025). Pada awal Desember 2024 KLH/BPLH melakukan penyenggelan sejumlah TPA open dumping dan TPS liar di sejumlah tempat. Kemudian awal Maret 2025 KLH/BPLH mulai menerapkan sanksi paksaan kepada pengelola TPA open dumping.
Beberapa pejabat yang bertanggungjawab dijadikan tersangka, berdasarkan sejumlah fakta pencemaran lingkungan yang semakin massif dan gangguan kesehatan. Mereka melanggar UU No. 81/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan terkait.
Alasan penutupan TPA open dumping merupakan mandat UU, kata Menteri LH, selain pencemaran lingkungan multidimensi, TPA open dumping juga mencemari air tanah melalui leachate yang tidak terkendali. Selanjutnya, meningkatkan emisi gas rumah kaca karena menghasilkan metana. Pengolahan TPA open dumping juga mengganggu Kesehatan Masyarakat sekitar dengan radius dampak mencapai 3 hingga 5 kilometer dari Lokasi TPA. (Media Indonesia, 1/3/2025).
Ketika KLH/BPLH melakukan penyegelan dan penutupan TPA open dumping, konsekuensinya akan timbul persoalan baru. Nyaris mayoritas kabupaten/kota kalang kabut. Indonesia mulai menerapkan paradigma baru: pilah-kumpul-olah atau kumpul-pilah-olah. Pekerjaan-pekerjaan tersebut membutuhkan infrastruktur, teknologi, peralatan kerja dan SDM yang memadai.
Gerakan Pilah Sampah
Sebetulnya sejumlah lembaga, komunitas dan perorangan sudah lama melakukan pemilahan sampah dari sumber, tetapi masih parsial dan setengah-setengah dengan kepentingan masing-masing. Dan, menambah pencemaran dan kekumuhan karena sisa-sisa sampahnya hanya ditumpuk dan sebagian kecil dibakar di alam terbuka. Pilah sampah sejenis ini belum memperoleh hasil yang memuaskan.
Dalam mendukung gerakan pilah sampah mulai dari sumber sejumlah lembaga, komunitas dan bank sampah mendeklarasikan “Gerakan Pilah Sampah – Indonesia Bersih 2025”. Ini bagian dari kerja-kerja advokasi berkelanjutan. Deklarasi pertama dilakukan pada 26 Maret 2025 di Burangkeng Kabupaten Bekasi dan Sumurbatu Kota Bekasi, dengan melibatkan pelaku circular economy aras bawah. Selanjutnya, secara resmi akan dilakukan pemasangan banner dan simbol gerakan pilah sampah di sejumlah titik.
Sejumlah lembaga sebagai deklarator diantaranya: Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), Komunitas Pemulung Bantargebang Sejahtera (KPBS), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI), Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Kajian Sampah Nasional (YKSN), Yayasan Al-Muhajirin Bantargebang (YAB), Kaukus Lingkungan Hidup Bekasi Raya, Yayasan Prabu Peduli Lingkungan, Bank Sampah Sumber Jaya Kranggan, Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan Hidup dan B3 Indonesia (AMPIBHI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan bantargebang, Banser Kecamatan Bantargebang, Yayasan Hatta Kali Soka, Komunitas Jurnalis Pegiat Lingkungan, Info Cyber.com, WSM Media Group, Paguyuban Nelayan Pelestari Muaragembong, Ahli Alam Semesta, dll.
Gerakan ini berbasis utama di sekitar pembuangan sampah; TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu, TPA Burangkeng, wilayah pemukiman hingga pesisir laut Muaragembong. Gerakan ini bertujuan memperluas kerja-kerja pemilahan sampah dan menguatkan komunitas-komunitas pengelola sampah, membentuk bank-bank sampah, membuka TPS3R di sejumlah wilayah.
Tujuan besarnya adalah agar kerja-kerja pilah sampah menjadi Gerakan Masyarakat, yang meluas dan kuat. Gerakan tersebut merupakan dukungan penuh kepada Pemerintah Pusat, terutama KLH/BPLH, Kementeri PU, dll serta Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelesaikan persoalan sampah.
Gerakan pilah sampah yang meluas dan kuat akan menyelesaikan sampah sejak dari sumber. Kerja-kerja circular economy, 3R (reduce, reuse, recycle) akan berkembang pesat dan memberikan kontribusi income negara yang besar. Gerakan pilah sampah ini akan mampu mewujudkan Indonesia Bersih, Indonesia Emas 2045. Artinya, Indonesia dan masyarakatnya akan memasuki era baru; kebiasaan, budaya dan peradaban yang mencintai kebersihan.
Kita akan mencintai jalan-jalan bersih sampah, saluran air bersih sampah, DAS dan kali/sungai bersih sampah, laut bersih sampah. Juga, tidak ada gunung-gunung sampah karena membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Gunung-gunung sampah itu merupakan bentuk kegagalan pengelolaan sampah.
Gerakan pilah sampah merupakan kontribusi positip dan kolaborasi berbagai lembaga, komunitas, bank sampah, dan lainnya yang selayaknya didukung semua pihak, terutama pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan dunia usaha. Kehadiran dan perannya riel, dalam konteks menerapkan advokasi dan income-generating.
Pemerintah pusat dan kabupaten/kota harus memberi peluang dan mempermudah perizinan bagi lembaga, komunitas dan perorangan yang mau mengelola sampah dari sumber. Jangan sampai ada Kepala Desa/Lurah, Camat, Dinas Lingkungan Hidup, yang menghambat pengurusan surat perizinan pendirian bank sampah, tidak mau memberi tanda tangan, misalnya. Bahkan, meminta sejumlah uang, jumlahnya bisa jutaan rupiah, pejabat itu baru mau tanda tangan.
Berikutnya, pemerintah pusat dan kabupaten/kota memberikan dukungan infrastruktur, teknologi, anggaran operasional, pasar dan informasi tentang daur ulang. Yang tidak kalah penting adalah memberikan insentif dan penghargaan bagi yang sukses mengelola sampah.
Terakhir, untuk mewujudkan Indonesia Pilah Sampah, Indonesia Bersih membutuhkan iklim pemerintahan yang bersih (good governance). Tanpa pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan suap di sektor pengelolaan sampah, maka Gerakan Pilah Sampah untuk Indonesia Bersih hanyalah mimpi di malam yang gelap gulita dalam sambaran gemuruh guntur dan petir.
Penulis: Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)