Diduga Angkat Mantan ASN Koruptor, Pemkab Rote Tabrak SKB Tiga Menteri
ROTE NDAO,Harnasnews.com – Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, diduga menabrak aturan Surat Keputusan (SK) Tiga Mentri yang memerintahkan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memecat Aparatur Sipil negara (ASN) mantan koruptor.
Berdasarkan Informasi yang dihimpun, setidaknya da 16 ASN yang dipecat dari kepegawaiannya pada bulan Mei 2019, kini kembali di aktifkan kembali oleh Bupati dan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Rote Ndao dan menempati jabatan di dinas tertentu.
Bahkan berdasarkan informasi, ASN mantan koruptor itu diagkat kembali Bupati secara diam-diam, dan digaji mengunakan dana silpa. Akibatnya, bendahara OPD mengaku takut jika ada pemeriksaan dari pihak BPK, karena sudah dapat dipastikan ada sanksi.
Terkait pengangkatan kembali mantan ASN koruptor, Sekertaris Daerah Kabupaten Rote Ndao, Jonas M Selly yang ditemui wartawan mengaku dirinya tidak memiliki keweangan memberikan Informasi terkait persoalan tersebut.
“Silakan konfirmasi saja ke bupati,” ucap Seda singkat, belum lama ini.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus diberhentikan secara tidak hormat.
Putusan itu menjawab gugatan dari PNS Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Hendrik yang pernah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada 2012. Hendrik menggugat pasal 87 ayat (4) huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana secara langsung atau tidak, telah mengkhianati rakyat karena menghambat tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya,” ujar hakim seperti dikutip dalam laman putusan MK.
Pasal 87 ayat (4) huruf b berisi: PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Aturan ini digugat Hendrik lantaran setelah bertugas kembali sebagai PNS Pemkab Bintan, muncul aturan pada 2018 berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menpan-RB, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
SKB itu menyatakan perintah pemberhentian PNS koruptor paling lambat Desember 2018. Sebagai penggugat, Hendrik beralasan aturan itu bertentangan dengan jaminan untuk mendapatkan perlindungan yang sama di hadapan hukum. Penggugat membandingkan dengan caleg eks narapidana kasus korupsi yang masih diperbolehkan mendaftar caleg.
Namun hakim berkukuh bahwa pemberhentian PNS koruptor tetap harus dilakukan lantaran yang bersangkutan telah melanggar sumpahnya untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
“Sumpah untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar formalitas tanpa makna melainkan sesuatu yang fundamental,” katanya. (Dance Henukh/Grd)