Diduga Putus Perkara Tak Profesional, Hakim PN Semarang Bakal Diadukan ke KY dan Komisi III DPR
SEMARANG, Harnasnews – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang memutuskan menolak perkara perkara 30/PDT.SUS-PKPU/2024 PN Niaga Semarang. Yakni antara pemohon PT Cemerlang Usaha Agri Nusantara (PT Cuan) dengan termohon yakni pihak lawan, PT Indo Energy Solution (PT IES). Hal itu karena alasan tidak sederhana.
“Kami kecewa atas putusan tersebut. Sebab, pernyataan hakim yang menyebut bahwa perkara ini terlalu prematur. Lantaran perkara yang sama sedang diadili di Mahkamah Agung (MA), merupakan pendapat yang menyesatkan,” kata kuasa hukum PT Cuan, Dr. Agus Nurudin, SH, CM selaku di PN Semarang, Rabu (4/12/2024)
Agus menduga, hakim tidak membaca bukti-bukti yang telah disampaikan oleh pemohon secara utuh. Padahal, perkara yang di MA itu terkait dengan keberatan atas cessie invoice nomor 29.
Sedangkan yang dijadikan dasar untuk permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah invoice nomor 12 sampai 28.
“Jadi, jual beli ini ada invoice nomor 12 sampai 29. Sedangkan yang dijadikan alat bukti untuk permohonan PKPU itu nomor 12 sampai 28, sementara objek yang perkara perdata yang sekarang di kasasi invoice nomor 29,” ujarnya.
Selain itu, kata Agus, hakim yang mengadili perkara tersebut bukan orang yang tidak tahu tentang permasalahan PT Cuan dan PT IES. Sebab hakim yang menyidangkan perkara PKPU tersebut, juga pernah memutus kasus pidana yang dilakukan oleh direktur PT IES.
“Hakim ini sangat mengetahui, karena hakim inilah yang memutus perkara pidana direktur IES yang dipidana. Itu yang jadi hakim beliau, jadi tahu persis persoalannya,” tegas Agus.
Dia pun melihat ada keanehan dalam perkara nomor 10 PKPU. Di mana hakim tidak membaca bukti lagi.
“Padahal PT Cuan mengajukan permohonan PKPU terhadap IES 2 kali, kemudian diputus oleh hakim yang sama. Dalam perkara nomor 10 PKPU, hakim mengatakan ini adalah perjanjian kerjasama, seolah-olah antara Cuan dan IES ada perjanjian kerjasama,” tandasnya.
Padahal, tidak ada sama sekali dalam buktinya, sudah jelas itu jual beli antara Cuan dengan IES. “Sementara, IES mau dijual kemana saja, itu urusan dia. Kita nggak ada urusannya. Kenapa hakim tiba-tiba memutuskan adanya kerjasama,” ungkapnya.
Seharusnya, kata Agus, hakim dapat mempertimbangkan atas dasar bukti dan bukan seenaknya sendiri. Padahal, masyarakat datang ke pengadilan itu dalam rangka mencari keadilan dan hakim merupakan wakil Tuhan di muka bumi.
“Jika hakim sudah duduk diatas mimbar, maka dia sebagai seorang pengadil. Frame-nya harus melindungi orang yang dirugikan. Dalam kaitan ini, klien kami dirugikan karena jual beli tak dibayar,” tegasnya.
Namun anehnya, hakim tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan. Terkait dengan putusan PKPU yang kembali ditolak, Agus menilai hakim tidak profesional dalam mengambil satu putusan.
Sebab, tidak membaca bukti secara teliti. Selain itu, hakim hanya membaca pengantar bukti dari termohon.
Diadukan ke KY dan Komisi III DPR
Menurut dia, jika kliennya mengizinkan, pihaknya melaporkan hakim yang memutus perkara tersebut ke Komisi Yudisial (KY) maupun Hakim Pengawas. Dan tidak menutup kemungkinan akan melaporkan kasus ini juga ke Komisi III DPR RI.
“Sebab, jika persoalan ini dibiarkan maka akan jadi preseden buruk bagi peradilan di Indonesia. Setidaknya laporan kami dapat menjadi koreksi pagi para penegak hukum di negeri ini,” paparnya.
Agus juga menyarankan kepada DPR, agar mengkaji Undang-Undang atas putusan PKPU. Hal itu agar dapat kembali dilakukan upaya hukum lain.
Sehingga dapat memberikan kesempatan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan hak-haknya. Perlu diketahui, kasus ini berawal dari jual beli minyak melibatkan PT. Cuan dengan PT IES sebagai pembeli dengan total Rp33 miliar. ***