Hadapi Matematika dengan Logika, Taklukan 600 Lawan dari 107 Negara
“Dua halaman itu paling pendek. Karena jawaban dari soal-soal itu lebih bersifat pembuktian dari sebuah permasalahan,” kata dia.
Berbeda karakteristik soal matematika di sekolah yang selalu erat dengan rumus untuk menjawabnya. Soal-soal dalam IMO lebih banyak diuraikan dengan penalaran. “Jadi nggak pakai banyak rumus. Malah jawaban isinya uraian tulisan,” tandasnya.
Gian mengaku, soal-soal karakteristik soal matematika seperti itulah yang membuatnya selalu tertantang. Sejak kecil, saat duduk di bangku SD, Gian sudah asyik dengan dunia matematisnya. Dia mengasah potensinya dengan memperbanyak menyelesaikan tantangan soal matematika. “Saya melihat matematika itu tidak sekadar angka. Dia lebih dari simbol-simbol. Tetapi lebih tentang permasalahan yang membutuhkan pembuktian,” kata dia.
Gian menilai, kebanyakan anak takut menghadapi matematika karena rumus-rumus yang banyak sekali untuk dihafalkan. Khususnya dalam kurikulum di sekolah. Padahal, matematika itu harus dipahami, bukan dihafalkan. Bahkan dalam soal konfigurasi dalam IMO, dia mengerjakan soal tanpa rumus sama sekali. Soal itu diselesaikan dengan uraian penjelasan dan gambar.
“Saya sendiri kesulitan menghafal rumus-rumus dalam kurikulum sekolah. Tapi saya terus berlatih soal-soal. Karena saya juga tidak terlalu senang ambil les,” tutur pemenang Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2015 tersebut.
Kepala Cabang Dindik Jatim Wilayah Surabaya Dr Sukaryantho mengakui, pencapaian Gian menjadi simbol kualitas pendidikan di Surabaya dan Jawa Timur. Pihaknya yakin, akan ada lebih banyak lagi anak-anak berbakat yang akan tumbuh layaknya Gian. “Ini menjadi motivasi kita bersama untuk mendongkrak potensi anak-anak Surabaya. Mereka layak menjadi ilmuwan kelas dunia di zaman yang akan datang,” tutur Sukaryantho.
Menurut Karyantho, usaha yang dilakukan Gian patut menjadi inspirasi bagi pelajar Surabaya lainnya. Khususnya dalam memaknai materi pelajaran tidak sebatas apa yang dilihat dalam buku. Lebih dari itu, pembelajaran di sekolah merupakan proses nyata dalam kehidupan. “Di sini, pelajar akan memaknai dirinya sebagai pembelajar sejati. Ketika apa yang dipelajari secara tekstual dipahami juga pada ranah kontekstual,” pungkas Karyantho. [PUL]