Herkos-Solihin Diuntungkan Di Tengah Isu Konflik Internal Golkar dan PDIP
JAKARTA, Harnasnews – Pemilihan kepala daerah Kota Bekasi menyisakan waku empat bulan lagi. Dari sejumlah bakal calon Wali Kota yang digadang-gadang maju pada perhelatan politik lima tahunan itu, kini terus berjuang mendapatkan surat rekomendasi sebagai syarat pendaftaran di KPU.
Saat ini baru Heri Koswara yang telah mendapatkan surat rekomendasi dari partainya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bahkan telah menggandeng Solihin, politisi PPP sebagai calon Wakil Wali Kota untuk maju pada Pilkada yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang.
Sementara kandidat calon Wali Kota yang lain masih berjuang memperebutkan surat rekomendasi dari internal partainya masing-masing, maupun untuk mendapatkan surat dukungan dari partai lainnya sebagai mitra koalisi.
Analis politik Center for Publik Policy Studies Indonesia (CPPSI) Nurseylla Indra Donna mengungkapkan, jika dilihat dari konstelasinya, Heri Koswara-Solihin merupakan pasangan paling siap maju sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada Pilkada November 2024 nanti.
“Mengingat keduanya sama-sama telah mendapat restu dari partainya. Selain itu, di internalnya tidak terjadi konflik interested dalam mengeluarkan surat rekom bagi pasangan cawalkot Bekasi itu. Sementara kandidat lainnya masih sibuk berseteru di internalnya. Bahkan satu sama lain saling sindir,” ungkap Seylla dalam wawancaranya dengan Harnasnews, Selasa (30/7/2024).
Seylla menilai pasangan Heri Koswara-Solihin sangat diuntungkan di tengah perseteruan para politisi dalam memperebutkan surat rekomendasi untuk maju sebagai Cakada.
“Sebut saja, seperti dari PDIP ada Tri Adhianto dan Mochtar Muhammad alias M2. Meski bernaung dalam satu gerbong di partai banteng moncong putih, persaingan keduanya tak terhindarkan. Mereka sibuk mencari jaringan untuk mendapatkan rekom dari DPP. Praktis mesin partai tak maksimal dalam mempersiapkan pilkada,” katanya.
Belum lagi, desakan publik terkait dengan kasus menyeret nama Tri Adhianto atas dugaan korupsi saat menjabat sebagai Kepala Dinas Bina Marga, Plt.Wali Kota hingga Wali Kota definitif yang telah dilaporkan oleh sejumlah aktivis antirasuah, sehingga kian menambah persoalan bagi bakal Cakada dari PDIP tersebut.
Sementara, pasca persoalan hukum yang menjerat mantan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi yang juga mantan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi, partai berlambang pohon beringin di daerah penyangga Ibu Kota itu kini diterpa isu perpecahan.
Sejumlah bakal calon Wali Kota dari Partai Golkar, kabarnya tak lagi mengindahkan keberadaan kepengurusan DPD Golkar Kota Bekasi yang digawangi Ade Puspitasari tak lain merupakan putri dari Rahmat Effendi.
Kabarnya, sejumlah bacalon Wali Kota Bekasi lebih memilih membawa gerbong masing-masing tanpa melibatkan kepengurusan DPD Golkar Kota Bekasi.
“Padahal, realitas di lapangan bahwa pengaruh Rahmat Effendi di Golkar mash cukup besar. Khususnya di gress root. Banyak masyarakat yang merasakan kinerja Pepen saat menjabat wali kota,” katanya.
Seylla memprediksi bahwa siapapun calon Wali Kota Bekasi yang direkomendasi oleh DPP, mesin partai tidak akan berjalan dengan maksimal dalam memperjuangkan kadernya sebagai calon kepala daerah.
“Artinya, sejumlah bakal cakada dari partai Golkar tak memiliki fatsun yang jelas. Padahal jika merujuk pada mekanisme partai seharusnya siapapun bakal calon wali kota harus melakukan konsolidasi dengan pengurus DPD Golkar Kota Bekasi. Hal itu guna menghidupkan mesin partai dalam mendukung kadernya yang akan maju pada pilkada nanti,” terangnya.
Seperti diketahui, DPD Golkar Kota Bekasi mengajukan sejumlah nama bakal calon Wali Kota Bekasi, yakni Abdul Rosyad Irwan Siswadi atau Ian Rasyad (Kader Kosgoro 1957), Kusnanto Saidi (Dirut RSUD Kota Bekasi), Ade Puspitasari (Ketua DPD Golkar Kota Bekasi) Novel Saleh Hilabi (kader Golkar), Faisal (Anggota DPRD Kota Bekasi Fraksi Golkar), Uu Saeful Mikdar (mantan Kadisdik Kota Bekasi).
Namun dari sejumlah bakal cakada yang diajukan oleh Partai Golkar itu dinilai belum ada satupun yang menonjol. Mereka lebih memilih perang alat peraga kampanye ketimbang melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan menunjukkan kinerja terbaiknya. (Syaugy)