IAW: BPJS Kesehatan Stabil di Atas Kertas, Bocor di Balik Layar

JAKARTA, Harnasnews – Indonesia Audit Watch (IAW) menyoroti hasil laporan keuangan BPJS Kesehatan. Seperti nilai aset neto mencapai Rp49,65 triliun per Februari 2025, setara 3,36 kali rata-rata klaim bulanan. Kolektabilitas iuran pun tembus 99,22 persen.

Namun di balik angka-angka itu, ada cerita lain yakni pengakuan defisit Rp9,56 triliun, rumah sakit nakal, dan dugaan kecurangan klaim yang menelan dana publik.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus mengungkapkan bahwa sebelumnya direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, mengakui bahwa meski saldo aset besar, kenyataannya premi iuran tak lagi mampu menutup biaya layanan yang terus naik.

Menurut Iskandar, Inflasi medis yang melampaui inflasi umum, lonjakan biaya per unit layanan, dan implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) menjadi bom waktu bagi keuangan BPJS.

“Jika laporan keuangan stabil, mengapa defisit terus membayangi? Tentu perlu audit menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan,” ungkap Iskandar kepada Harnasnews, Rabu (26/3/2025).

Untuk itu, IAW meminta agar BPJS Kesehatan segera buka-bukaan soal proses hukum terhadap rumah sakit yang terbukti curang.

Sebab, kata dia, tanpa transparansi, publik akan terus bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari program jaminan sosial tersebut. Dia pun menduga ada kecurangan dari pihak RS dalam menangani sistem jaminan kesehatan nasional.

Iskandar mengungkapkan, ada beberapa rumah sakit disinyalir telah mengakali sistem. Adapun modusnya beragam. Seperti, phantom billing yaitu klaim layanan fiktif yang sebenarnya tidak pernah dilakukan. Kemudian pcoding, menaikkan kode diagnosis agar biaya layanan terlihat lebih mahal.

Selain itu, adanya mark-up obat dan alat kesehatan, dengan memanipulasi harga agar klaim membengkak. Dan terbaru, Cloning, rekam medis.

“Contohnya oleh RS Mitra Keluarga Tegal dan Slawi. Keduanya mengajukan klaim palsu hingga Rp4,7 miliar. BPJS Kesehatan Cabang Tegal akhirnya memutus kerja sama dengan dua rumah sakit itu. Tapi pertanyaannya: Bagaimana dengan rumah sakit lain yang terindikasi curang,” katanya.

IAW menuding BPJS terlalu lambat mengungkap nama-nama rumah sakit nakal. Publik berhak tahu siapa saja yang berkhianat pada kepercayaan pasien dan negara.

Sanksi Yang Wajib Ditegakkan

Iskandar menegaskan bahwa BPJS Kesehatan punya dasar hukum yang kuat untuk menindak rumah sakit curang, yakni Pasal 93 UU No. 24/2011 memuat pemutusan kerja sama dan pengembalian dana klaim fiktif.

Kemudian Pasal 1365 KUH Perdata terkait Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas kerugian negara dan pasien. Kemudian UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 untuk jerat pidana korupsi bagi pengelola rumah sakit yang terbukti menyalahgunakan dana publik.

“Sayangnya, meski dasar hukumnya jelas, pelaksanaannya justru lemah. Banyak rumah sakit masih beroperasi tanpa sanksi tegas, meskipun sudah terindikasi curang,” jelas Iskandar.

Dugaan Fraud RS Citra Arafiq Bekasi Ditutupi?

Salah satu contoh paling mencolok adalah kasus RS Citra Arafiq Bekasi. Temuan IAW menunjukkan lonjakan klaim diagnosis ringan yang janggal, pola duplikasi rekam medis, dan indikasi pemalsuan data.

“Mereka menggunakan modus klaim berulang dengan diagnosis sama dalam waktu berdekatan. Peningkatan tajam pada diagnosis tertentu yang tidak lazim. Yang menarik adalah “Cloning” rekam medis pasien untuk mengakali sistem klaim,” bebernya.

Bahkan kata dia, direktur dan penanggung jawab rumah sakit itu mundur mendadak setelah audit dilakukan yang makin memperkuat dugaan adanya praktik kecurangan sistematis.

“Menurut kami, kasus ini memenuhi dugaan unsur kerugian negara karena dana BPJS bersumber dari iuran publik dan subsidi negara. Juga terjerat manipulasi data yang melanggar Pasal 75 UU Kesehatan. Dan fraud sesuai definisi dalam Permenkes 16/2019,” jelasnya.

Desakan Transparansi dan Penegakan Hukum

Terkait dengan permasalahan tersebut, IAW mendesak BPJS Kesehatan merilis daftar rumah sakit curang secara nasional. Selanjutnya, Kementerian Kesehatan dan aparat hukum hendaknya memastikan sanksi berjalan dengan tegas baik administratif, perdata, hingga pidana.

“Kemudian, dilakukan audit investigatif BPK yang kemudian harus dibuka ke publik agar transparansi pengelolaan dana BPJS terjaga.
Lalu melakukan perbaikan sistem digitalisasi rekam medis lintas rumah sakit dan peningkatan pengawasan klaim diagnosis yang rawan manipulasi,” ungkap Iskandar.

Sebab, kata dia, tanpa ketegasan hukum dan transparansi, BPJS Kesehatan hanya akan terlihat “sehat di atas kertas”, sementara rakyat yang menanggung defisit.

Dia menilai, BPJS Kesehatan adalah ‘nyawa’ bagi ratusan juta rakyat Indonesia. Namun, jika dana iuran rakyat terus bocor karena praktik kecurangan yang dibiarkan, kepercayaan publik akan runtuh.

“Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan. Maka BPJS Kesehatan harus membuktikan bahwa mereka bekerja untuk rakyat, bukan melindungi rumah sakit nakal,” tutup Iskandar. (Red)

Leave A Reply

Your email address will not be published.