JAKARTA, Harnasnews– Terlahir dengan nama Sayyed Ali, putra kedua dari Sayyed Javad Khamenei, ini terbiasa hidup susah. Saat dewasa sering keluar masuk penjara menentang rezim shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi. Di usia senja dituding sebagai New Hitler.
Pada 16 Juli 1939 lahir calon Ayatollah–sebutan bagi pemimpin besar Iran–di Masyhad, Provinsi Khorasan. Sayyed Ali tumbuh sebagai muslim yang sederhana dan rendah hati, meski besar dari keluarga tokoh terkenal.
“Ayahku, meskipun seorang tokoh agama yang terkenal, kami mempunyai kehidupan yang sulit. Kadang-kadang untuk makan malam kami tidak punya apa-apa, selain roti dengan kismis, yang entah bagaimana ibu kami buat sendiri,” demikian tulis Ali Khamenei dalam biografinya.
Dia bercerita bahwa rumahnya hanya seluas 60 meter persegi. Rumah yang berdiri di lahan tandus tersebut hanya memiliki satu kamar dengan ruang bawah tanah yang suram. Gelap gulita tanpa penerangan.
Ketika pengunjung datang menemui ayahnya, sebagai ulama terkenal, untuk berkonsultasi tentang masalah agama dan kehidupan, dia dan keluarganya terpaksa harus pindah ke ruang bawah tanah tersebut.
“Bertahun-tahun kemudian, beberapa badan amal membeli tanah kecil dan kosong di sebelah rumah kami, sehingga kami dapat membangun dua kamar lagi,” kata Sayyed Ali.
Namun, keterbatasan harta tidak membuat semangat calon pemimpin besar Iran itu pupus. Pada usia 4 tahun, Sayyed Ali dan kakak laki-lakinya, Mohammad, dikirim ke maktab, sekolah dasar tradisional pada masa itu, untuk mempelajari baca tulis dan ngaji Al-Qur’an.
Kemudian, dia dipindahkan ke sekolah Islam yang baru didirikan untuk melanjutkan belajarnya. Setelah tamat sekolah dasar, Sayyed Ali melanjutkan belajar ke seminari teologi di Masyhad.
“Faktor pendorong utama bagi keputusan yang mencerahkan ini [belajar] adalah orang tua saya, terutama ayah saya,” kata Ayatollah Khamenei.
Perbesar Ayatollah Khamenei saat masih muda dan berjuang dalam melengserkan Shah Reza Pahlevi/Biografi Di sekolah bernama Soleiman Khan and Nawwab dia tidak hanya belajar agama.
Dia mempelajari semua kurikulum tingkat menengah seperti logika, filsafat, dan yurisprudensi Islam. Sayyad Ali belajar dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 5 tahun.
Dia kemudian belajar studi tingkat lanjut yang disebut darse kharij dengan ulama dan instruktur terkemuka seperti Ayatollah Agung Milani. Sayyed Ali baru berusia 18 tahun ketika mulai belajar di tingkat tertinggi atau setara universitas.
Kemudian dia memutuskan untuk berziarah ke tempat-tempat suci di Irak. Dia pun meninggalkan Iran menuju Najaf pada 1957. Dia terpesona oleh instruksi teologis dan akademis dari ulama terkemuka seperti Ayatollah Hakim dan Ayatollah Shahrudi.
Namun, ayahnya meminta dia melanjutkan studi di kota Qum. Oleh karena itu, untuk menghormati keinginan orang tuanya, dia kembali ke Iran pada 1958. Beruntung dia ke kota Qum, karena mendapatkan ilmu langsung dari ulama besar dan ayatollah agung seperti Ayat Borujerdi, Imam Khomeini, Ayat Haeri Yazdi, dan Allamah Tabatabai.
Tak lama di kota Qum, dia mendapatkan kabar buruk. Ayahnya kehilangan penglihatan salah satu matanya. Hal itu mendorongnya untuk kembali ke Masyhad, dan memilih merawat orang tuanya sembari mencari ilmu lebih lanjut Ayatollah Milani.
Perjalanan Politik Ayatollah Khamenei
Ayatollah Khamenei mengaku mengenal pergerakan politik, revolusi dan hukum Islam langsung dari Imam Khomeini, pemimpin revolusi Islam Iran 1979, saat belajar di kota Qum. Namun, dia mengaku jiwa revolusioner muncul ketika berusia 13 tahun.
“Ide revolusioner dan kewajiban untuk melawan nepostisme Shah [Pahlevi] dan pendukung Inggrisnya, berkobar dalam jiwa saya pada usia 13 tahun ketika ulama pemberani, Nawwab Safavi, menjadi martir oleh rezim Shah. Kami datang ke sekolah di Masyhad pada 1952 dan menyampaikan pidato berapi-api menentang kebijakan Shah yang anti-Islam dan licik.”
Di Qum pada 1962, Sayyed Ali bergabung dengan barisan pengikut revolusioner Imam Khomeini yang menentang kebijakan rezim Shah yang pro-Amerika dan anti-Islam.
Dia memilih ‘jalan pedang’ itu selama 16 tahun, dan berujung pada kejatuhan rezim Shah Pahlevi. Sepanjang perjalanan itu dia mendapatkan penganiayaan, penyiksaan, pemenjaraan, dan pengasingan. Sayyed Ali pertama kali mengenal kehidupan ‘hotel prodeo’ pada Mei 1963.
Dia diminta oleh Imam Khomeini untuk menyampaikan pesan rahasia kepada Ayatollah Milani dan ulama lainnya di Masyhad, tentang cara dan taktik mengungkap kejahatan Syah Pahlevi. Ali memenuhi misi ini dengan baik.
Kemudian, melakukan perjalanan ke kota Birjand untuk menyebarkan pandangan Imam Khomeini. Di sini dia ditangkap untuk pertama kalinya dan menghabiskan satu malam di penjara. Sebelum dilepaskan dia diminta tidak berbicara di mimbar lagi.
Sejak saat itu dia tahu bahwa dia akan berada di bawah pengawasan polisi sepanjang waktu. Namun, dia tidak tunduk pada ancaman polisi. Perbesar Pada pemberontakan berdarah Juni 1963 (Khordad ke-15), dia kembali ditangkap dan dipindahkan ke Masyhad untuk menghabiskan 10 hari di penjara dengan kondisi yang parah.
Selanjutnya, pada Januari 1964 Khamenei kembali melakukan gerakan mengungkap referendum palsu Shah Pahlevi yang diklaim sebagai agenda reformasi. Dia kemudian dibekuk badan intelijen, SAVAK. Kemudian dibawa ke Teheran dengan pesawat terbang, dan dipenjara selama 2 bulan serta disiksa. SAVAK terus mengawasi gerak-geriknya, dan membuatnya ditangkap lagi pada 1967.
“Sejak 1970 dan seterusnya, landasan untuk melakukan gerakan bersenjata telah ditetapkan. Oleh karena itu, sensitivitas dan kekerasan rezim terhadap saya meningkat. Mereka tidak percaya bahwa aksi bersenjata tersebut tidak ada hubungannya dengan ideologi Islam yang sehat,” ujar Sayyed Ali.
Pada musim dingin 1975, dia ditangkap untuk keenam kali di rumahnya Masyhad. Pada musim gugur 1975, dia dibebaskan dan dikirim kembali ke Masyhad. Dia dilarang memberikan ceramah atau mengadakan kelas.
Namun aktivitas rahasianya mendorong SAVAK untuk menangkapnya pada musim dingin 1976 dan menjatuhkan hukuman pengasingan selama 3 tahun.
Masa sulit ini berakhir pada penghujung 1978, yang berujung kejatuhan rezim Pahlavi dan bangkitnya Republik Islam Iran.
Ali Khamenei Dituding Sebagai New Hitler
Khamenei terpilih sebagai presiden pada Oktober 1981, dan terpilih kembali pada 1985. Jabatan presiden sebagian besar bersifat seremonial selama dua masa jabatannya.
Sebagian besar wewenang eksekutif dipegang oleh perdana menteri. Pada 1989, kesehatan Imam Khomeini menurun, dan masih belum jelas siapa yang memenuhi syarat untuk menggantikannya.
Kemudian dia menunjuk sebuah dewan untuk merevisi konstitusi. Tugas dewan tersebut belum selesai hingga kematiannya pada Juni, dan mereka menunjuk Khamenei sebagai rahbar atau pemimpin berikutnya.
Namun, Khamenei tidak memenuhi kualifikasi tersebut: dia belum menjadi ulama senior, dan hanya diberi gelar hojatoleslām yang tidak terlalu tinggi.
Selain itu, dia lebih menyukai pemerintahan yang sangat tersentralisasi di bawah pimpinannya, untuk mencegah pengaruh kekuatan asing dalam politik dalam negeri.
Perubahan konstitusi, yang disetujui dalam referendum pada Juli 1989, melonggarkan kualifikasi, menghilangkan jabatan perdana menteri, dan memperkuat jabatan kepresidenan, serta memberikan pemimpin kekuasaan yang signifikan untuk mengawasi dan campur tangan dalam urusan politik.
Dia silih berganti menikmati masa pemerintahan presiden. Dari mulai Hashemi Rafsanjani (198901997), Mohammad Khatami (1997-2005), Mahmoud Ahmadinejad (2005-2013), Hassan Rouhani (2013-2020) dan Ebrahim Raisi (2020-sekarang). Pada masa Raisi ini hubungan Iran dengan Arab Saudi memulai babak baru.
Hubungan diplomatik terjalin setelah beberapa tahun terputus. Iran dengan Arab Saudi merupakan rival abadi di kawasan Timur Tengah. Iran menuding Arab Saudi adalah antek Amerika dan penjaga negara zionis Israel.
Hubungan mereka memuncak ketika pada 2016 warga Iran dilarang melakukan ibadah haji di Makkah. Khamenei menuding Kerajaan Saudi, yang bertugas sebagai penjaga situs suci di Makkah dan Madinah, telah melakukan politisasi ibadah haji.
“[Arab Saudi] berubah menjadi setan kecil dan lemah yang gemetar karena takut membahayakan kepentingan Setan Besar [Amerika Serikat),” katanya pada 2016.
Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman dalam wawancara dengan CBS News pada 2016 menuding bahwa Khamenei adalah ‘New Hitler’ di Timur Tengah.
Tudingan tersebut diucapkan karena kritik dan upaya Khamenei memperluas kekuasaan di tanah Arab.
“Dia [Khamenei] itu New Hitler di Arab, kalau Hitler berupaya memperluas kekuasaan di Eropa, kalau dia ingin memaksakan kekuasaan di Timur Tengah,” ujarnya.
Hubungan Arab Saudi dengan Iran memburuk bukan perkara politik semata. Secara ideologis, Iran yang berhaluan Syiah, sedangkan Arab Saudi bermazab Sunni, sering berbeda dalam cara melakukan syariah Islam.
Namun, saat Israel menyerang Gaza pada tahun lalu, hubungan Arab Saudi dengan Iran kian membaik. Setelah Arab membuka jalur diplomatik dan memboleh warga Iran ibadah di Tanah Suci, untuk pertama kalinya mereka bertemu dalam satu meja. Pada November 2023 Mohammed bin Salman dan Presiden Iran Ebrahim Raisi telah mengadakan pertemuan pertama sejak kedua negara setuju menyembuhkan hubungan pada Maret 2023.
Peristiwa ini menandai kunjungan pertama yang dilakukan seorang Presiden Iran di Arab Saudi dalam waktu lebih dari satu dekade ini. Mereka menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi luar biasa negara-negara Islam-Arab, membahas solusi untuk memecahkan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza dan turut menghentikan tindakan kekerasan Israel di daerah Palestina.