Oleh: Irwan S
Perhelatan pemilihan umum, konon akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang, tepatnya pada bulan Februari. Hanya tinggal hitungan bulan saja. Seperti banyak pemilu sebelumnya, momentum ini selalu dibebani oleh besarnya harapan rakyat akan munculnya pemimpin-pemimpin baik berkualitas. Pemimpin yang bisa menyemai berjuta-juta hajat rakyat. Yang celakanya, juga diikuti oleh keinginan melahirkan pemimpin yang seolah “tanpa cacat”, tanpa kekurangan.
Akibat darinya adalah para politisi, baik yang ingin mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif maupun sebagai calon presiden, akhirnya berupaya menampilkan dirinya sebagai figur yang seolah tanpa cacat, memenuhi syarat etik moralitas, sehingga pada akhirnya memberi mereka ruang untuk memanipulasi diri mereka seakan tanpa dosa. Karena memperbaiki moralitas di masa lalu tidaklah mungkin, memperbaiki etika juga butuh waktu yang tidak sebentar, para politisi cenderung mengambil langkah cepat dengan ‘pencitraan’, baik lewat pakaian maupun melalui agenda kegiatan.
Tidaklah aneh jika di tahun-tahun pemilu seperti sekarang kita melihat banyak politisi pria mendadak berpeci, berpakaian muslim, bahkan bersorban. Sedangkan politisi-politisi wanitanya mendadak berhijab dan berpakaian serba syar’i. Setidaknya mungkin dengan tampilan tersebut diharapkan ada kesan kesalehan yang bisa “dikirim” kepada mata dan pikiran rakyat pemilih sebagai sebuah “pesan”. Pesan bahwa mereka setidaknya sudah memenuhi kriteria etika dan moral sebagai seorang pemimpin yang layak dipilih.
Belum lagi jika mereka memenuhi acara-acara kunjungan ke tempat-tempat ibadah, pesantren dan majelis-majelis dzikir. Mereka memperlihatkan sikap tawadhu yang bahkan berlebihan, suatu sikap yang jauh ditemui dalam keseharian mereka yang kebanyakan justru bersikap sombong dan bahkan keji. Mereka bahkan mati-matian bersedia duduk bersila berjam-jam dalam acara keagamaan hanya untuk memberi kesan saleh, padahal mungkin kaki dan pinggulnya sudah terasa panas di 10 menit awal acara. Semua dilakukan demi sebuah citra baik menuju pemilihan umum.
Lalu, bagaimana dengan politisi yang kurang pandai melakukan pencitraan? Atau politisi yang memilih jalan tidak memerlukan pencitraan? Kita mengingat, Barack Obama saat pemilu presiden Amerika Serikat, mengakui pernah menghisap mariyuana saat masih mahasiswa. Ia dikecam oleh para politisi Partai Republik tapi justru mendapatkan simpati publik karena kejujurannya dan akhirnya malah terpilih.
Presiden Filipina saat itu, Rodrigo Duterte pernah masuk penjara lebih dari sekali dan itu diakuinya, ia malah dipilih rakyat Filipina. Ketika Donald Trump maju sebagai calon presiden dalam pemilu di Amerika, ia memeluk beberapa perempuan dan bahkan menyentuh area sensitif perempuan-perempuan tersebut, ia terpilih.
Belajar dari kondisi itu, tampaknya alam sedang “berpihak” kepada mereka yang pernah salah di masa lalu atau bahkan masih nakal di masa kini, untuk tampil apa adanya, dan mau jujur tentang siapa dirinya. Lalu bagaimana meyakinkan publik bahwa kesalahan di masa lalu, bahkan kenakalan yang dilakukan seorang politisi bukanlah sebuah ukuran bagus tidaknya kinerja politisi tersebut jika terpilih. Sudah berapa juta politisi yang “seakan-akan” bermoral, seakan tidak pernah melakukan kesalahan di masa lalu, tetapi ketika terpilih justru tidak sama sekali menunjukkan performa sebagai pemimpin yang layak bagi rakyat. Mereka kemudian kembali “ke asalnya”, tidak perduli sama sekali kepada rakyat.
Menuju pilpres 2024, kita berharap para calon presiden dan calon wakil presiden tidak perlu mengemas dirinya menjadi terlihat saleh sekedar di mata. Kita memerlukan seorang pemimpin yang jujur dan berani mengakui sikap perilakunya, setidaknya itulah modal awal bagi dirinya untuk kelak akan bersikap jujur kepada rakyat yang dipimpinnya.
Menarik, ketika Ganjar Pranowo mengakui ‘suka’ menonton film dewasa. Publik, terutama yang tidak menyukai Ganjar, mungkin karena mendukung calon yang lain, lalu bereaksi bahwa Ganjar secara moral etik tidak layak menjadi presiden. Ketika menonton film dewasa yang berada di dalam ranah hak privat seseorang dipersoalkan hanya karena alasan moral etik, lalu bagaimana dengan para politisi yang justru secara “diam-diam” juga menyukai film dewasa atau tidaknya dalam benak pikiran mereka juga kerap muncul pikiran cabul dan mesum.
Apakah mereka bermoral karena hanya tidak mengungkapkan atau setidaknya “tidak ketahuan” telah berperilaku cabul dan mesum? Apakah mereka bermoral hanya karena mampu menyembunyikan kerusakan etik moralnya di hadapan publik, tetapi dalam kamar-kamar kecil nan temaram, sesungguhnya mereka berperilaku bak serigala.
Tahun 2024, kita memerlukan sebuah suasana politik yang sama sekali baru. Sebuah proses politik yang bebas dari pencitraan etik moral yang justru membuat bangsa ini terjun bebas ke dalam jurang kepalsuan. Terlihat bermoral diatas tanah, tetapi bermental keropos di bawah tanah.
Kita sudah terjerembab terlalu dalam karena kita menuntut pemimpin-pemimpin tanpa cacat, tanpa kesalahan. Yang akibatnya, mereka berkali-kali harus berpura-pura tanpa cacat tanpa salah, hanya agar didukung oleh kita. Tanpa sadar kita telah membuat mereka menjadi “Malaikat Palsu”. Sudahlah puluhan tahun kita menciptakan para malaikat palsu tersebut. Saatnya era tersebut berganti. Kita perlu pemimpin jujur dan ukuran kejujuran mendasarnya adalah jujur mengakui kenakalannya sendiri. Tabik.
Penulis: Analis Center for Public Policy Studies Indonesia