Oleh Agus Wahid
Kreditur akan selalu menghitung bagaimana kemampuan pengembalian utang. Cenderung memberikan persyaratan ketat. Itulah kebijakan lembaga atau negara dalam menyalurkan utang atau pinjaman. Namun, prinsip itu tidak berlaku bagi China. Negeri Tirai Bambu sebagai negara ataupun korporat perbankan, BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta besar tak mengghiraukan kemampuan pengembalian utang, apalagi persyaratan ketat dan kaku. China benar-benar agresif dalam utang kuar negeri (ULN). Hingga 2017 lalu, tercatat ada megaproyek China di 165 negara dengan total investasi sebesar AS$ 843 miliar.
China benar-benar “memburu” negara-negara pencari utang. Siapapun dan kondisi selemah apapun ekonomi debitur terus dipasok utangnya. Bersikap proaktif dalam “menaburkan” utang, terutama kepada para debitur asal mancanegara. Sebuah kebijakan ULN yang tampak ada indikasi mencari “mangsa” (debitur) yang tak sanggup mengembalikan utangnya. Aneh. Tapi, itulah praktik kebijakan alinatif China yang mengundang kecurigaan besar.
Kecurigaan itu sungguh penting bagi Indonesia. Pasalnya, negeri kita terutama BUMN-nya merupakan salah satu dari 165 negara yang terdaftar sebagai debitur korporat China. Menjadi sangat miris kedengarannya, karena ULN-nya tidak masuk dalam neraca keungan negara sebagai komponen ULN. Disembunyikan, padahal debiturnya BUMN. Sebagai perusahaan negara tentu tak lepas dari persetujuan atau diketahui negara.
Angkanya tidak kecil. Menurut catatan William Towns Research di Massachusetts, September lalu, korporat Indonesia punya utang ke BUMN China sebesar AS$ 17,28 miliar atau sekitar Rp 266 triliun. Di luar itu atas nama skema official development assistent terdapat utang lagi sebesar AS$ 4,42 miliar atau sekitar Rp 63 triliun. Dan atas nama “other official flow tercatat utang juga sebesar AS$ 29,96 miliar (Rp 427 triliun). Dan mengutip catatan Connie Rahakundini Bakrie terdapat ULN ke Cina sekitar Rp 1.400 triliun untuk membangun IKN, padahal taksasinya hanya Rp 466 triliun.
Wow, fantasitik sekali total ULN Indonesia ke China itu. Sebuah renungan, bagaimana kemampuan mengembalikan ULN itu? Mengutip catatan ekonom Rizal Ramli, saat ini Pemerintah punya kewajiban bayar pokok sebesar Rp 400 triliun/tahun. Bunganya Rp 370 triliun/tahun. Jadi, ada kewajiban bayar utang pokok dan bunganya sebesar Rp 770 triliun. Bagaimana dengan kewajiban utang BUMN-BUMN yang tetap harus dibayar. Bahkan, bagaimana dengan kewajiban utang baru untuk IKN itu? Pusing tujuh keliling. Tapi, bisa jadi, menyatakan, “emang gue pikirin”, ujar imajiner sang penguasa.
Kreditur China sudah memastikan, Indonesia sebagai negara ataupun korporat pasti tidak bisa bayar utang. Jika membayarnya, pasti dibayar dengan utang baru. Minimal, dengan reschedule (perpanangan tempo). Secara kalkulatif, perpanjangan tempo ditambah utang baru semakin memperbesar volume utang negeri ini. Bagaimana prediksi kemampuan membayarnya? Kecil kemungkinannya. Dan itu berarti, megaproyeknya menjadi jaminan.
Sekedar itu? No. Para taipan China akan menguasai sejumlah megaproyek itu. Mulai dari peningkatan jumlah sahamnya secara dominan, kekuasaan terhadap managemen proyek, apalagi sudah beroperasi. Dan harap dicatat, sejumlah megaproyek China itu tergolong instalasi-instalasi strategis, di antaranya pembangunan pelabuhan super besar di Medan dan Cibitung. Juga, impeknya terhadap kedaulatan negara untuk masa depan. Semuanya ada dalam kendali penuh China.
Inilah ancaman serius dari jebakan utang China (China debt trap). Pertaruhan negeri ini adalah hilangnya minimal beralihnya status kedaulatan negara. Tentu, rakyatnya akan berubah: bukan lagi bangsa merdeka. Tapi, menjadi budak yang harus tunduk pada “penguasa” baru. Skema politik ideologis ini akan riil terjadi jika hasil pemilu 2024 besok jatuh ke kandidat presiden dan wakil presiden yang tetap yang senafas: mempertahankan kerjasamanya dengan China.
Adakah opsi untuk menyelamatkan ancaman serius itu? Ada. Yaitu, sosok pemimpin yang tetap menjaga hubungan dengan China, tapi tidak dalam kerangka melanjutkan sejumlah megaproyek China secara keseluruhan. Ada restrukturisasi ULN yang harus dirundingkan kembali dengan posisi sejajar. Harus menghentikan megaproyek yang bukan prioritas. Juga, berkonsentrasi terhadap megaproyek-megaproyek yang bersentuhan langsung dengan kepentingan kedaulatan negara. Tak boleh terjadi pengambilalihan kewenangan ke tangan China.
Itu berarti, sosok pemimpin ini mamang harus berdedikasi penuh pada totalitas pengabdian kepada negara. Bersih dari nuansa perilaku koruptif, kolutif, nepotistic (KKN). Piawai melakukan terobosan ekonomi secara kreatif dan akuntabel tansparan. Jika managemennya lurus, utang ribuan triliun tergolong kecil. Masih terlalu kecil dibanding sumber daya alam (SDA) dan mineral Indonesia yang tak terhingga. Sulit dihitung secara matematis.
Dengan posisinya sebagai negara kalitulistiwa yang membuat potensi sering terjadi pergeseran lempengan bumi (gempa tektonik), justru inilah musibah berbuah “maha” manis: terbangun miliaran kubik minyak mentah baru non fosil. Sementara, erupsi gunung-gunung sesungguhnya Allah “memuntahkan” SDA emas dari ceruk magma tanpa penggalian. Di balik musibah yang cukup menyayat bagi manusia, justru pemilik alam ini memperlihatkan kekuasaan sekaligus maha sayangnya kepada manusia Indonesia ini.
Itulah nilai ekonomi yang “maha” fantastik yang tak disadari kita. Boleh jadi, karena ketidaktahuan. Di sinilah urgensi membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Demi urgensi ini pula, maka menjadi krusial bagi anak bangsa ini untuk tak boleh dikekang atau dipasung pemikirannya. Kemerdekaan berfikir dan berpendapat sangat besar korelasi positifnya dalam membangun insan cerdas dan berkualitas.
Akhirnya, kita perlu mencatat SDA negeri ini lebih dari cukup untuk mengatasi problem ULN. Problem terbesar negeri ini justru adanya krisis mental dan moral sang pemimpin utama yang rela bersekongkol dengan komprador. Cara kerjanya tidak dilandasi moral pertanggungjawaban yang seharusnya. Juga, keterbatasan kemampuan dalam melahirkan pemikirian kreatif dan cerdas. Lebih dari itu, masih dominannya sikap rakus dalam panggung kekuasaan. Ambisinya tetap berusaha untuk berkuasa walau dengan mengantarkan “boneka”. Padahal, itu malapetaka bagi negeri dan bangsa ini.
Kini, kita perlu merenung dengan penuh nurani. Apakah kita terpanggil untuk membebaskan diri jeratan dan jebakan utang luar negeri yang demikian jelas mengancam kedaulatannya? Atau, kita harus segera sadari untuk menyelamatkannya? Jika tersadar, maka tak ada opsi lain maka kita harus mencari sosok pemimpin yang amanah. Karena itu, hayo kita lewati kontestasi pilpres dengan jujur, adil, transparan tanpa rekadaya picik nan jahat. Inilah kedewasaan berpolitik demokratik menuju singgasana yang penuh hormat dan pasti dihormati hasilnya. Legitimate yang siap menghasilkan kemajuan bangsa dan negara.
Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik