JAKARTA, Harnasnews – Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal merupakan saat yang ditunggu-tunggu bagi umat Islam setelah satu bulan lamanya menjalankan ibadah shaum (puasa).
Namun, berdasarkan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, penetapan 1 Syawal di Indonesia kerap terjadi perbedaan antara dua organisasi Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah.
Kendati demikian, Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) menegaskan bahwa pertanyaan mengenai waktu Idul Fitri 1444 H tiba akan dijawab pada Ikhbar yang disampaikan PBNU pada Kamis (20/4/2023) pukul 19.00 WIB.
“Pertanyaan terkait kapan Idul Fitri 1444 H agar dapat dijawab: menunggu Ikhbar PBNU yang akan dilaksanakan pada Kamis Legi 20 April 2023 M sekitar pukul 19:00 WIB,” demikian bunyi poin Surat LF PBNU Nomor 020/LF–PBNU/IV/2023 perihal Edaran tentang ikhbar Idul Fitri 1444 H.
LF PBNU juga menegaskan bahwa ikhbar hanya disampaikan oleh PBNU dan menjadi haknya yang sudah berjalan sejak 16 tahun lalu, tepatnya pada tahun 2007. “Ikhbar Idul Fitri 1 Syawal 1444 H adalah hak PBNU, sebagai konsensus para pihak (PBNU dan PWNU terkait) yang telah berjalan sejak 1428 H / 2007 M,” demikian pernyataan LF PBNU melalui surat tersebut.
Lebih lanjut, LF PBNU menekankan agar tidak ada informasi atau ikhbar mengenai Idul Fitri 1444 H yang mengatasnamakan Nahdlatul Ulama selain dari ikhbar yang disampaikan PBNU. Artinya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU), maupun Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) harus merujuk pada ikhbar yang disampaikan PBNU.
“PWNU/PCNU atau pihak lain yang mengatasnamakan NU tidak diperkenankan melakukan Ikhbar,” lanjut surat tersebut.
Adapun PWNU ataupun PCNU yang mempunyai lembaga falakiyah di wilayah dan cabang masing-masing diharapkan agar dapat menyampaikan data hisab dengan titik markaz dari wilayah dan cabangnya sendiri. Hal itu tanpa disertai dengan pernyataan ikhbar.
“PWNU/PCNU, khususnya yang telah memiliki Lembaga Falakiyah, diperkenankan menyampaikan data falakiyah (data hisab) dengan markaz masing–masing kepada masyarakat tanpa menyertakan perihal ikhbar,” lanjut surat tersebut.
Sebagai informasi, data bulan tanggal 29 Ramadhan 1444 H atau 20 April 2023 berdasarkan markaz Jakarta menunjukkan ketinggian hilal berada pada 1 derajat 55 menit 43 detik dan elongasi 3 derajat 18 menit 23 detik.
Adapun waktu hilal di atas ufuk berlangsung selama 9 menit 29 detik, sedangkan ijtimak terjadi pada Kamis Legi, 20 April 2023 pada pukul 11.16.38 WIB.
Sementara itu, letak matahari terbenam pada 11 derajat 30 menit 16 detik utara titik barat, sedangkan letak hilal pada 13 derajat 02 menit 49 detik utara titik barat. Kedudukan hilal sendiri berada pada 1 derajat 32 menit 32 detik utara matahari dalam keadaan miring ke utara.
Data di atas menunjukkan bahwa hilal sudah berada di atas ufuk, tetapi ketinggian hilal masih berada di bawah standar minimal imkan rukyah (visibilitas) atau kemungkinan hilal dapat terlihat, yaitu 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Sementara itu, Muhammadiyah telah menetapkan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat 21 April 2023. Penetapan tersebut didasari dengan penghitungan metode hisab wujudul hilal.
“Muhammadiyah dalam menentukan 1 Syawal 1444 H ini tetap menggunakan metode hisab wujudul hilal sehingga berdasarkan pada perhitungan yang cermat dengan pedoman itu, maka Muhammadiyah menetapkan 1 syawal 1444 H pada hari Jumat, 21 April 2023,” kata Jamjam Erawan Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Barat saat dikonfirmasi, Jumat (14/4/2023).
Jamjam menerangkan, karena perhitungan dengan metode itu, 1 Syawal yang ditentukan oleh Muhammadiyah ada kemungkinan berbeda dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Karena itu, jikapun nantinya penetapan 1 Syawal antaran Muhammadiyah dan pemerintah berbeda, Jamjam memastikan tidak ada hal yang mesti dipermasalahkan.
“Namun perbedaan idul fitri ini bukan kejadian hanya saat ini, sudah beberapa kali kita berbeda dan berjalan dengan baik, harmoni dan menggembirakan karena diantara kami bisa saling menghormati, menghargai dan memuliakan hasil ijtihad masing-masing dengan alasan yang bisa diterima baik berdasarkan dalil naqli maupun dalil aqli serta menghindari pandangan merasa paling benar dari ijtihad itu,” jelasnya. (Red)