Kasus Dugaan Pemerkosaan Kembali Dibuka, Hakim PN Bogor Kota Diminta Kabulkan Gugatan Praperadilan

JAKARTA, Harnasnews – Kuasa Hukum tersangka terduga pemerkosaan yang melibatkan pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) berharap agar hakim Pengadilan Negeri Kota Bogor mengabulkan gugatan praperadilan atas kasus yang menimpa kliennya.

Hal tersebut menyusul dengan terbitnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikeluarkan oleh Polresta Bogor Kota. Padahal, sebelumnya kasus tersebut sudah dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3).

“Kami tentunya menghargai terbitnya SPDP. Namun demikian selaku kuasa hukum mempertanyakan soal SP3 yang sebelumnya diterbitkan. Sebab SP3 itu tentunya berdasarkan pertimbangan hukum, Sehingga kasus tersebut tidak layak diteruskan,” ujar Fadly Masril yang merupakan Kuasa Hukum dari tiga orang terduga pelaku pemerkosaan dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (9/1/2023)

Fadly Masril yang didampingi Komarudin dan Nurseylla Indra yang merupakan Tim Kuasa Hukum ketiga terduga pelaku mengatakan, bahwa pihaknya telah mendaftarkan Gugatan Praperadilan ke PN Kota Bogor.

“Kami harapkan Hakim Tunggal dalam gugatan Praperadilan PN Kota Bogor dapat memberi keputusan seadil-adilnya terhadap klien kami. Sebab kasus tersebut banyak kejanggalan,” ungkap Fadly.

Dalam kasus tuduhan pemerkosaan itu, Fadly mengaku kliennya diperlakukan sebagai pihak yang paling disudutkan. Karena opini yang dikembangkan oleh si korban bahwa dirinya saat disetubuhi dalam kondisi tidak sadar (pingsan).

Padahal, kata Fadly, berdasarkan pengakuan kliennya, jarak kafe yang diduga tempat mereka mengkonsumsi salah satu merk minuman beralkohol, dan hotel cukup jauh.

Yakni kafe tersebut berada di Kranggan Kota Bekasi, sementara hotel tempat mereka yang diduga melakukan persetubuhan itu di Hotel Permata Kota Bogor.

“Kita buka aja CCTV, apakah si korban saat masuk di hotel itu digotong. Mereka satu mobil dari Kranggan menuju hotel Permata dan dalam keadaan sadar. Apa itu dikatakan pingsan? Dalam hal ini polisi harus menjerat terduga korban dengan pasal memberi keterangan palsu dalam kasus tersebut,” ungkap Fadly.

Oleh karenanya, lanjut Fadly, terbitnya SP3 dari Polres Bogor Kota atas kasus dugaan pemerkosaan itu sudah tepat. Sebab mereka melakukan persetubuhan itu dengan sadar dan atas dasar suka sama suka.

Namun demikian, kata dia, dengan terbitnya SPDP setelah setahun sebelumnya sempat dikeluarkan SP3 di Polres yang sama, tentunya menjadi pertanyaan publik.

Untuk itu, sebagai Kuasa Hukum, pihaknya  akan membeberkan klarifikasi terkait peristiwa hukum tersebut.  Selain itu, pihaknya akan membeberkan beberapa bukti yang dimilikinya. Baik itu isi chatting maupun pernyataan pihak-pihak lain.

“Kami juga akan  memberikan klarifikasi kepada Kemenkop selain itu meminta untuk mengembalikan nama baik kliennya,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kuasa Hukum Terduga Para Pelaku Kekerasan Seksual pegawai Kemenkop UKM mengaku heran mengapa Polresta Bogor menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP).

Terbitnya surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) No. SPDP/243/XII/RES.1.24/2022 tertanggal 07 Desember 2022 dari Polresta Bogor dengan sangkaan sebagaimana Pasal 286 KUHP tersebut diduga lantaran ada desakan publik akibat informasi yang tidak utuh, baik itu keterangan dari pihak korban maupun pelaku.

Polresta Bogor kembali menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) lantaran adanya rekomendasi dari rakor Kementerian Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).

Padahal kasus ini telah dihentikan oleh pihak kepolisian menyusul adanya pertimbangan hukum Restorative Justice atau keadilan bagi kedua belah pihak dengan jalan penyelesaian perkara melalui kesepakatan damai antara korban dan para pelaku tersebut. Sehingga kedua belah pihak sepakat untuk berdamai.

Menanggapi hal ini, kuasa hukum dari keempat pelaku(ZP,  NN, WH dan MF) Fadly Masril yang didampingi Komarudin dan Nurseylla Indra merasa heran dengan penerbitan SPDP yang berdasarkan rekomendasi dari rakor Kemenko Polhukam.

Seharusnya, kata Fadly, SPDP bisa terbit melalui prosedur praperadilan alias putusan hakim. “Itu yang saya bingung, kok bisa SPDP terbit hanya dari hasil rekomendasi rakor Kemenko Polhukam. Seharusnya SPDP bisa terbit melalui putusan hakim di praperadilan,” kata Fadly ketika ditemui di kawasan Permata Hijau, Kebun Jeruk, belum lama ini.

Kendati demikian, Fadly pun mengaku senang dengan dibukanya kembali kasus ini. Sebab, di kesempatan ini, dirinya akan mengungkapkan fakta sebenarnya dalam kasus dugaan persetubuhan ini.

Fadly mengatakan, selama ini para kliennya terus disudutkan sebagai pelaku pemerkosaan padahal kalau berdasarkan fakta bahwa persetubuhan itu dilakukan atas keinginan dari si korban.

“Sementara berdasarkan fakta, peristiwa yang sebenarnya tidak demikian. Kami memiliki banyak bukti bahwa sebelum mereka masuk hotel terlebih dahulu ada aktivitas lain yang dilakukan secara sadar baik si korban maupun pelaku. Hal itu berdasarkan alat bukti dan chatting sebelum peristiwa persetubuhan itu terjadi,” kata Fadly. (Red)

Leave A Reply

Your email address will not be published.