Sobar memaparkan, awalnya lahan milik kliennya seluas 1,2 hektar lebih di kawasan Otak Keris Desa Maluk itu dimiliki oleh Ahmad Taat. Dimana saat itu Ahmad Taat mengikuti program transmigrasi lokal pada tahun 1984 lalu di Otak Keris, sehingga Pemerintah menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) Nomor 181 atas lahan tersebut atas nama Ahmad Taat pada tahun 1987.
Saat itu, kliennya Alimun datang ke Maluk untuk bekerja sebagai tukang bangunan dan bertemu dengan Ahmad Taat, karena sama-sama berasal dari Lombok Tengah, dan selanjutnya terjadi proses jual beli lahan tersebut antara keduanya secara di bawah tangan.
Kemudian terjadi kesepakatan lahan tersebut tetap dikerjakan oleh Ahmad Taat, namun Ahmad Taat juga berpindah-pindahv tempat. Setelah sekian lama, belakangan diketahui ada penggusuran di lokasi lahan miliknya, lantas Alimun mendatangi ahli waris Ahmad Taat untuk dibuatkan bukti autentik terkait lahan tersebut di Mataram.
Selaku kuasa hukum atas lahan tersebut, kata Sobar, dirinya turun ke lokasi itu dan menemukan persoalan, dimana diatas lahan itu telah terbit sejumlah sertifikat.
Persoalan ini saat ditangani oleh kuasa hukum sebelumnya juga pernah bersurat ke BPN. Hasilnya, tidak pernah ada tumpang tindih di lahan itu dan BPN menegaskan lahan tersebut masih atas milik Ahmad Taat sesuai SHM Nomor 181.
“Bahkan selama ini tidak pernah ada peralihan hak antara Ahmad Taat kepada pihak manapun. Iai juga menemukan kejanggalan di data Dukcapil, menurut keterangan keluarga, Ahmad Taat telah meninggal dunia, namun bisa muncul tanda tangan Ahmad Taat pada 2018 untuk memberikan ahli waris atas lahan itu, sementara di lapangan ditemukan fakta bahwa ada penerbitan sejumlah sertifikat atas lahan tersebut,” bebernya.
Sobar mengatakan, jika mengacu pada dokumen yang dimiliki, maka pihak perusahaan telah membayar ganti rugi kepada pihak yang tidak berhak. Sebab, jika mengacu pada data BPN tidak pernah ada peralihan hak atas lahan tersebut dari pemilik awal yakni Ahmad Taat sesuai SHM Nomor 181 tersebut.
“Pihak PT AMNT bersama Pemda KSB menyatakan telah menyelesaikan pembayaran ganti rugi lahan tersebut, tapi kenyataannya dibayarkan kepada orang lain yang tidak berhak yakni kepada Miskam, Nurdin dan Lugiman,” ungkapnya.
Karenanya, ungkap Sobar, pihaknya akan melaporkan persoalan tersebut ke Mabes Polri.
“Kami minta Mabes Polri untuk mengusut tuntas siapa saja oknum yang terlibat kasus tindak pidana atas lahan milik klien kami tersebut. Kami juga akan menempuh upaya hukum perdata,” tegasnya.
Ia juga sangat menyayangkan upaya yang ditempuh oleh Ketua Tim Fasilitasi selama ini justru lebih memposisikan diri sebagai tim advokasi dari pihak perusahaan bukan tim yang seharusnya memfasilitasi pemilik lahan dengan perusahaan.
“Saya pikir sebagaimana pengalaman-sebelumnya ketika saya menyelesaikan sengketa lahan juga di otak keris atas nama Muhammad Gua dulu, saat itu yang bersangkutan datang sebagai tim fasilitasi untuk melihat data-data yang kami miliki agar dapat difasilitasi dengan pihak perusahaan. Tapi nampaknya kehadiran M Endang Arianto itu bukan hendak untuk memfasilitasi kami selaku kuasa hukum dari Alimun dengan pihak perusahaan tetapi ingin mengambil data saya guna melakukan pelemahan dalam jawaban dia terhadap somasi yang pernah kami layangkan sebelumnya,” sesal Sobar.
Karenanya, ia berkesimpulan bahwa ketua tim fasilitasi pembebasan lahan smelter PT AMNT Endang Arianto Cs bukan berfungsi sebagai tim fasilitasi melainka sebagai tim advokasi pihak perusahaan.
“Langkah hukum pidana dan perdata akan segera kami tempuh, agar semuanya menjadi jelas siapa saja yang terlibat dalam kasus int, kami akan membuat perkara ini menjadi bom waktu. Kasus ini akan menjadi pint masuk untuk perkara-perkara penyelewengan lainnya yang pernah terjadi di KSB, apalagi pembayaran ganti rugi lahan di Otak Keris sesuai SK Bupati KSB itu dihargai hanya Rp 5,5 juta per are. Sementara info yang kami dapat seharusnya lebih dari Rp 5,5 juta per are. Semuanya nanti akan kami bongkar satu per satu,” pungkasnya.(HR)