
ACEH TIMUR, Harnasnews – Penjabat (PJ) Bupati Aceh Timur, Amrullah, kembali menjadi sorotan setelah diduga mengambil kebijakan strategis yang menuai kontroversi di masa transisi.
Ketua Arah Pemuda Aceh (ARPA), Eri Ezi, SH, atau yang akrab disapa Bung Eri, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan fungsi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan merugikan aset daerah.
Menurut Bung Eri, PJ Bupati seharusnya hanya menjalankan administrasi pemerintahan dan tidak membuat kebijakan besar yang berdampak luas, sebagaimana diatur dalam peraturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah kerja sama operasional (KSO) antara PT Perkebunan milik BUMD Aceh Timur dengan pihak ketiga, yang dinilai melanggar batas wewenang PJ Bupati.
Salah satu keputusan yang menuai kritik tajam adalah pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.224 hektare, termasuk 800 hektare perkebunan kelapa sawit di Desa Wonosari, Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang. Pengelolaan lahan yang sebelumnya berada di bawah PT Wajar Corpora, BUMD Pemerintah Aceh Timur, kini diserahkan kepada CV. Multi Karya Baru untuk jangka waktu lima tahun.
Selain itu, lahan HGU lainnya, yakni seluas 1.475 hektare di Desa Blang Seunong, Kecamatan Pante Bidari, serta 496 hektare di Desa Bandar Baro, Kecamatan Indra Makmur, juga dialihkan ke pihak ketiga. Padahal, dari total luas tersebut, terdapat 496 hektare lahan sawit yang masih produktif. Lahan yang sebelumnya dikelola oleh PT Beurata Maju, BUMD milik Pemerintah Aceh Timur, kini diserahkan kepada CV. Duta Niaga Mandiri dengan kontrak selama tujuh tahun.
Tak berhenti di situ, kebijakan kontroversial lainnya adalah pengalihan tanah kebun HGU PT Beurata Maju seluas 1.345 hektare kepada PT Syakila Beurata Kadirov. Mirisnya, pihak ketiga hanya diwajibkan membayar kontribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp50 juta per tahun, angka yang dinilai sangat rendah dibandingkan potensi keuntungan dari pengelolaan lahan tersebut.
Keputusan PJ Bupati ini dinilai semakin merugikan daerah dengan adanya pengalihan pengelolaan tanah seluas 1.600 hektare di Desa Pante Kera, Kecamatan Simpang Jernih, kepada pihak ketiga dengan nilai PAD yang sama, yakni hanya Rp50 juta per tahun.
Bung Eri menilai langkah-langkah yang diambil PJ Bupati berpotensi menghambat fungsi BUMD dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pendapatan daerah.
“Seharusnya BUMD menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah, bukan justru tersandera oleh kebijakan yang merugikan aset pemerintah Aceh Timur,” ujar Bung Eri, kepada media. Kamis, (20/02/2025).
Oleh karena itu, ARPA mendesak agar kebijakan ini segera dibatalkan. Jika tidak, pihaknya akan mengambil langkah lebih lanjut dengan menyurati Gubernur Aceh dan Kemendagri untuk mengevaluasi kinerja PJ Bupati Aceh Timur.
“Kami mengingatkan kembali bahwa posisi PJ Bupati adalah sebagai penjabat sementara yang bertugas memastikan jalannya pemerintahan di masa transisi, bukan untuk membuat kebijakan strategis yang berpotensi merugikan daerah,” tegas Bung Eri.
Dengan polemik yang terus berkembang, masyarakat Aceh Timur kini menanti respons dari pihak berwenang terkait tuntutan pembatalan kebijakan tersebut. (Zulmalik)