![](https://www.harnasnews.com/wp-content/uploads/2021/07/Suasana-pengisian-ulang-gas-elpiji-ke-dalam-tabung-gas-tiga-kilogram-di-Depot-Elpiji-Pertamina-Tanjung-Perak.jpg)
Oleh: Agus Wahid
Drama sosial yang luar biasa. Itulah kelangkaan gas elpiji 3 kg. Bagaimana tidak? Kelangkaannya di pasaran selama beberapa hari tergolong serentak. Menghilang di seluruh Tanah Air. Kok bisa?
Tentu bisa. Semuanya tergantung permainannya secara orkestratik. Oleh swasta atau negara, at least orang tertentu yang masih punya kendali pada kehidupan bernegara? Dan yang jauh lebih substantif untuk dipertanyakan, ke mana arah atau tujuan melangkakan gas elipiji bersubsidi itu?
Kita perlu mengasir beberapa variabel yang cukup dekat di balik hilangnya elpiji itu. Pertama, jika swasta yang memainkan, maka target peniadaan gas elpiji adalah kenaikan harga yang hiperbolik. Bisa jadi, lebih dari 100%. Persis seperti kelangkaan minyak goreng beberapa tahun lalu. Ternyata, setelah Prabowo mengundang Menteri ESDM ke istana, gas elpiji 3 kg itu langsung berlimpah di pasaran. Harganya pun tak berubah. Hal ini menunjukkan, dugaan penimbunan gas elpiji 3 kg oleh swasta gugur.
Lalu sebagai variabel kedua mungkinkah negara? Jawabnya, yang mana aktornya? Ketika kita cermati gebrakan Prabowo terhadap Bahlil Lahadalia, maka bukan negara yang dipimpin Prabowo. Lalu siapa? Kita perlu membaca, siapa sesungguhnya Bahlil? Publik tahu persis, Menteri ESDM itu titipan Jokowi. Maka, variabel kedua ini jelas arahnya. Aktor negara yang dimaksud adalah sang “Raja” Jawa yang masih merasa masih menjabat presiden.
Kita perlu mempertanyakan variabel selanjutnya? Yaitu sebagai variabel ketiga apa maksud si Wie Yo Koh itu memanfaatkan Bahlil untuk mengganggu kebijakan Prabowo?
Di hadapan mata, kita saksikan, pemagaran laut sepanjang 30,16 Km di Pantai Utara Tangerang dan Bekasi sedang dibongkar. Aparat keamanan, terutama Angkatan Laut berperan proaktif. Berdasarkan instruksi jelas dari Prabowo. Seluruh pihak yang terlibat mulai dari beberapa kepala desa, Dinas ATR Kabupaten, bahkan sejumlah pejabat dan Menteri ATR periode 2022 – 2023, Kapolri dan Menteri Dalam Negeri sedang dalam tahapan proses penindakan hukum.
Keterlibatan mereka bukan hanya pengkavlingan perairan laut, tapi pemberian HGB yang didasarkan sertifikat kepada perusahaan raksasa milik Aguan. Sementara, dugaan keterlibatan Polri tak lepas dari ketidakmungkinan atas ketidaktahuannya Mega Proyek raksasa. Kepolisian at least satuan dari Polairud tak mungkin tidak tahu kawasan perairan itu terpatoki bambu-bambu sepanjang itu. Di sisi lain, Kemendagri dan Polri juga tak mungkin tak tahu Mega Proyek Pantai Indah Kapuk 2. Dalam kaitan ini, Menteri Perumahan Muruarar Sirait juga tak mungkin tak tahu pemagaran bambu-bambu itu.
Diamnya sejumlah elitis negara itu sebagai variabel keempat menggambarkan ketundukan mereka tanpa reserve terhadap mantan junjungannya: Jokowi, yang masih merasa sebagai Presiden RI. Perlu kita catat, yang merasa ataupun yang tunduk total menggambarkan sosok yang super foolish. Masih untung hanya dinilai sebagai gambaran kadar ideot akalnya. Justru, mereka layak dicap sebagai pengkhianat negara. Karena, persekongkolannya antar mereka dengan para pemilik Mega Proyek itu sungguh mengancam kedaulatan negara ke depan.
Sebuah blessing in disguise. Keberanian M. Cholid selaku warga Serang memicu keberanian untuk menghadapi kekuatan konspiratif penguasa binaan Jokowi, oligarki dan para preman bayaran sebagai aktor penyumpal dan intimidator di lapangan.
Dengan keberanian Cholid, kini terkuak 371 titik reklamasi di seantero Nusantara. Ketika pilpres 2014, Jokowi mewacanakan One Belt One Road (OBOR), awalnya dihembuskan sebagai tol laut untuk memperlancar arus konektivitas barang dan jasa. Sungguh ideal. Tapi, akhirnya terbongkar maksud utamanya. Yaitu, desain untuk membangun pangkalan militer China di kawasan negeri ini. Benar-benar mengarah pada penguasaan geopolitik.
Inilah etape aneksasi gaya China terhadap negeri ini. Mencermati grand desain aneksasi itu, maka Jokowi memang sosok manusia yang paling bertanggung jawab. Apakah oligarki harus bertanggung jawab? Jika landasannya bisnis semata, maka itulah karakter para oligarki. Dan itu tak bisa dipersalahkan. Karakter kapitalis-liberalis di muka bumi ini memang selalu mencari pangsa pasar yang lebih luas. Globalisme menjadi kecenderungan kaum kapitalis-liberalis itu.
Namun, ketika gerakan bisnisnya mengancam kedaulatan sebuah negara, maka konspirasinya tak bisa dilepaskan dari hukum pidana biasa. Namun, kejahatannya mengarah pada makar. Yaitu, merebut dan atau menyingkirkan kekuasaan yang sah, yang kini ada di tangan Prabowo.
Untuk itu, kita bisa menggaris-bawahi, gerakan penghilangan gas elpiji 3 kg bukan semata-mata pengalihan isu. Tapi, sesungguhnya merupakan desain makar. Melalui kelangkaan gas elpiji akan tergiring reaksi demonstratif-massif dan ekstensif dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya kalangan rumah tangga, tapi para pedagang kecil akan bergerak. Mereka terpanggil karena terkait dengan pendapatannya hilang. Dus, Prabowo akan berhadapan dengan mobilisasi kekuatan rakyat yang demikian massif. Kita bisa bayangkan, dengan jutaan orang mengangkat bamboo runcing atau melemparkan batu dengan ketapelnya, Prabowo segera tamat. Lalu? Gibran segera dinobatkan sebagai penggantinya yang sah.
Kita beruntung, Prabowo yang berdarah militer tentu punya naluri tajam tentang gelagat makar itu. Karenanya, Prabowo tak perlu sungkan untuk menindak siapapun yang terlibat, termasuk aktor intelektual utamanya. Dalam hal ini Jokowi is the real main actor. You have to banish him. Right now, note later. Sebagai negara hukum dan taat hukum, serahkan pada mekanisme hukum yang jauh dari campur tangan oligarki atau pengaruh Jokowi. Rakyat akan berdiri tegak bersamamu, wahai Mr. Prabowo… Please noted.
Penulis: Analis Politik